Selasa, 15 Desember 2009

UNTUNGNYA AKU MENABUNG DI BANK !

Oleh: Diyanti Sholifiany

Aku adalah seorang gadis remaja. Saat ini aku duduk di kelas satu SMA. Lewat tulisan ini aku ingin menceritakan pengalamanku sebagai nasabah bank. Bagi kebanyakan orang, pengalaman ini mungkin biasa-biasa saja, tapi bagiku pengalaman ini sangat berkesan.
Ceritanya dimulai sekitar empat tahun lalu. Saat itu aku baru lulus SD. Saat mau melanjutkan ke SMP orangtuaku menginginkan agar melanjutkan ke sekolah berasrama saja. Salah-satu pertimbangannya adalah agar aku mendapatkan pendidikan yang lengkap baik pendidikan umum maupun agama. Selain itu, dengan sekolah berasrama aku bisa mulai belajar hidup mandiri. Aku pun setuju karena itu adalah keinginanku juga.
Karena itu, selepas lulus SD aku mulai belajar tinggal jauh dari orangtua. Orangtuaku tinggal di Bekasi sedangkan aku melanjutkan SMP di sebuah sekolah berasrama di pinggiran kota Bandung. Sekolah ini sudah cukup dikenal luas sebagai sekolah yang bermutu. Oleh karena itu, banyak orangtua yang menitipkan anaknya di sekolah ini.
Sejak itu, aku pun jadi anak asrama. Peraturan sekolah menetapkan bahwa para murid berasrama ini hanya boleh pulang atau ditengok orangtuanya dua bulan sekali. Karena tinggal jauh dari orangtua, aku pun harus belajar mengatur diri sendiri termasuk soal keuanganku.
Awalnya aku kerepotan juga mengatur soal keuanganku ini. Soalnya, aku belum terbiasa melakukannya. Saat masih tinggal bersama orangtua, aku tidak perlu repot-repot memikirkannya. Uang untuk keperluan sekolah maupun uang saku sudah dijatah setiap hari. Jika ada kurang-kurangnya tinggal minta lagi. Walaupun karena itu orangtua sering ngomel-ngomel karena menganggapku boros dan sebagainya.
Kini, setelah aku tinggal di asrama, aku harus mengatur sendiri uang kiriman orangtua setiap bulannya. Orangtuaku mengirim uang itu via transfer antar bank. Adanya layanan transfer uang secara elektronik ini jelas sangat membantu karena uang kiriman orangtuaku bisa terkirim dengan cepat, yakni dalam hitungan beberapa menit saja. Hal ini jelas berbeda kalau uang itu dikirim lewat wesel pos biasa. Setelah uang dikirim, orangtuaku biasanya mengirim SMS bahwa uang sudah dikirim. Setelah itu, aku bisa pergi ke ATM terdekat untuk mengambil uangnya. Beres! Uang kiriman pun kini sudah berada di tanganku. Sejak itu, aku pun mulai akrab dengan salah-satu layanan bank ini.
Selain merasakan manfaat layanan ini, sebagai anak asrama aku juga mulai merasakan manfaatnya menabung di bank. Sewaktu tinggal dengan orangtua, aku mendapatkan uang jajan setiap hari. Kata teman-temanku, uang jajan yang kuterima tiap hari sebenarnya cukup besar. Anehnya, uang jajanku itu selalu habis begitu saja bahkan sering kurang. Artinya, boro-boro aku bisa menabung. Itulah sebabnya aku sering disebut boros, karena teman-temanku dengan uang jajan yang lebih sedikit ternyata bisa juga menabung.
Kini, setelah tinggal jauh dari orangtua, uang untuk biaya hidupku hanya dikirim setiap bulan. Dengan cara ini, aku seolah-olah mendapat ”gaji” bulanan dari orangtua. Orangtuaku mewanti-wanti agar aku bisa mengatur ”gaji” agar cukup sampai bulan berikutnya. Kalau sampai nombok menjadi repot juga urusannya, karena aku jauh dari sanak famili.
Tapi, justru karena itu aku merasa tertantang. Aku tidak ingin lagi dicap boros. Karena itu, aku pun bertekad akan menyisihkan berapa pun uang jajanku untuk ditabung. Pokoknya, aku ingin membuat kejutan buat orangtuaku. Kejutan untuk menunjukkan bahwa aku tidak seboros yang mereka duga. Tapi, bagaimana caranya?
Tadinya, aku berniat menyisihkan uangku itu di celengan saja. Maksudnya, agar aku sewaktu-waktu bisa mengambilnya jika sedang kepepet. Tapi, aku merasa ada saja godaan untuk mengambil uang tabunganku itu, entah untuk jajan atau pun keperluan lainnya.
Selain itu, kadang-kadang aku merasa tidak aman dengan uang simpananku itu. Maklumlah, aku kan hidup di asrama bersama-sama dengan orang lain. Bukannya aku berburuk sangka pada teman-teman seasrama tapi rasa tidak aman tetap saja menghantuiku. Terlebih beberapa waktu lama, sempat kejadian teman seasramaku kehilangan uang cukup besar yang disimpannya di lemari pakaian.
Dengan beberapa pertimbangan itu, akhirnya aku memutuskan untuk membuka rekening tabungan di bank atas namaku sendiri. Kebetulan, dekat sekolahku ada Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Syariah yang masih satu grup dengan Yayasan tempat sekolahku bernaung. Karena ingin membuat kejutan, aku sengaja tidak memberitahukan hal ini pada orangtuaku.
Begitulah, sejak saat itu aku mulai rajin menabung di bank BPR itu. Awalnya, tidak mudah membiasakan diri menabung di bank itu. Yang jelas, aku harus mengubah kebiasaanku dalam menabung. Ketika masih menabung di celengan, aku merasa kurang disiplin baik saat menyimpan maupun menarik tabungan. Tapi, sejak menabung di bank aku merasa lebih termotivasi untuk terus menabung. Aku merasa malu sendiri kalau uang tabunganku di bank tidak nambah-nambah. Selain itu, aku lebih terbiasa untuk tidak terlalu gampang mengambil uang tabunganku kapan saja. Lebih dari itu, aku merasa tidak khawatir lagi akan kehilangan uangku karena dicuri dan sebagainya. Pokoknya, aku merasakan perbedaan yang nyata ketika aku mulai menabung di bank dengan menabung di celengan.
Tiga tahun berlalu, tak terasa aku sudah menyelesaiankan pendidikanku di SMP. Prestasiku pun tak mengecewakan, karena aku lulus dengan nilai UAN yang membanggakan. Seiring kelulusanku itu, aku pun mengecek tabunganku di BPR itu. Wah, ternyata lumayan juga jumlahnya untuk seorang yang belum punya penghasilan sepertiku! Selain uang pokok simpananku itu, ternyata ada juga uang bagi hasil yang langsung ditambahkan pada simpanan pokok itu. Katanya, uang bagi hasil ini sebagai pengganti bunga kalau di bank non-syariah. Dilihat dari jumlahnya, tabunganku ini cukuplah untuk membeli sesuatu yang berharga untuk keperluanku sendiri.
Saat libur tahun ajaran baru, aku pun pulang ke rumah membawa berita kelulusan itu dan juga ”sesuatu” yang ingin kutunjukkan kepada keluargaku. Sesuatu itu tidak lain adalah sebuah laptop mungil yang sudah kuidamkan sejak dulu. Aku memerlukan alat ini selain untuk keperluan sekolah juga untuk menyalurkan hobiku dalam tulis-menulis.
Saat kutunjukkan laptop mungilku ini kepada keluarga, mereka pun nampak heran.
”Wah, laptop siapa ini, Ti?” tanya ibuku heran.
”Punya aku dong mah, emang punya siapa lagi,” jawabku bangga.
”Emang kamu punya duit darimana bisa beli laptop seperti ini. Harganya kan mahal bisa jutaan?” ayahku menimpali.
”Ini hasil uang tabunganku, Yah,” jawabku.
”Emang kamu bisa nabung. Selama ini kan kamu boros,” celetuk kakakku setengah tak percaya.
”Bisa dong, ini karena gara-gara aku rajin menabung di bank sejak aku jadi anak asrama,” jawabku.
”Wah, bagus kalau begitu. Berarti kita tidak sia-sia menyekolahkamu jauh-jauh ke Bandung. Salah-satunya kamu jadi lebih pintar mengatur uang,” ayahku memuji.
Kini, aku sudah duduk di SMA. Laptop mungil hasil tabunganku ternyata sangat membantu baik untuk mendukung pelajaran sekolah maupun untuk menyalurkan hobiku menulis. Kini, kebiasaanku menabung di bank seperti waktu di SMP masih aku teruskan karena aku menyadari manfaatnya banyak sekali. Membeli laptop mungil dengan uang tabunganku sendiri itulah salah-satu manfaatnya. Lebih dari itu, aku kini lebih bijaksana dalam soal mengatur uang.
ooo000ooo
Bandung, 30 November 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar