Senin, 20 Agustus 2012

RINDUKU PADA SEBUAH KOTA (Oleh: Diyanti Sholifiany)


Rinduku pada kota ini adalah
Kerinduan seorang kelana
Pada kampung halaman tercinta
Yang t’lah ditinggalkannya begitu lama

Rinduku pada kota ini adalah
Kerinduan seorang anak
Pada sang bunda tercinta
Yang t’lah mengasuhnya sejak belia

Rinduku pada kota ini adalah
Kerinduan seorang pencari ilmu
Pada sang guru
Yang tak henti menularkan ilmu
Tanpa kenal lelah dan waktu

Rinduku pada kota ini adalah
Kerinduan seorang pesinggah
Pada sang tuan rumah
Nan selalu menyambut ramah
Setiap mereka yang bertandang ke rumah

Rinduku pada kota ini adalah
Kerinduan seorang insan pembaharu
Akan sebuah inspirasi baru
Di saat yang lain tengah membeku

Rinduku pada kota ini adalah
Kerinduan seorang pujangga
Pada kehidupan nan penuh warna
Tuk dicoba diabadikannya
Dalam untaian kata-kata

Oh tatar Bandungku
Begitu banyak yang merindukanmu
Karena engkau selalu melekat di kalbu
Setiap insan yang pernah menyatu
Dalam denyut jantung kehidupanmu


Bandung, 25 Oktober 2010

DI KOTA INI (Oleh: Diyanti Sholifiany)


Di kota ini …
Bung Karno tampil ke muka
Menggugah kesadaran kaum bumiputera
Akan haknya sebagai bangsa merdeka

Di kota ini …
Para pemimpin Asia Afrika
Menyeru rakyat di kedua benua
Tuk bangkit melawan belenggu kolonialisme
Nan penuh angkara murka

Di kota ini …
Putra putri terbaik bangsa
Mengasah jiwa raga
Tuk meraih cita
Memberikan sumbangsih nyata
Pada negeri tercinta

Di kota ini …
Para anak bangsa berkarya
Tunjukkan kepiawaiannya pada dunia

Di kancah industri dirgantara

Di kota ini …
Para insan kreatif bangsa
Tak lelah merajut cipta
Mewujudkan maha karya
Tuk dipersembahkan kepada bangsa dan dunia

Bandungku kota tercinta
Banyak kau torehkan pelangi di cakrawala
Tunjukkan pesona pada dunia
Meski ku merasa
Engkau pun tak luput dari sejuta problema



Bandung, 25 Oktober 2010


Lentera Jiwaku (Oleh:Diyanti Sholifiany)


Hatiku begitu tercabik-cabik melihat kenyataan ini. Kenyataan yang begitu pahit rasanya. Aku kehilangan dua bola mataku. Ini semua tak lepas dari ulah si Reza itu. Gara-gara dia aku tak bisa lagi melihat indahnya dunia. Tak bisa lagi melihat lagi bunga-bunga bermekaran di taman. Tak bisa lagi memandang langit nan biru. Dan tak bisa lagi melihat ayah dan ibukku. Semua keindahan di dunia ini telah sirna.
          Penderitaan ini berawal dari aksi nekat ku bersama si Reza itu. Reza yang membawaku pergi. Pergi ke tempat yang begitu jauh. Katanya disana aku bisa meraih semua mimpi-mimpiku. Aku pun nekat  kabur dari rumah. Meninggalkan emak dan bapakku yang padahal kala itu tengah terhimpit hutang piutang.
          Aku pergi tidak bilang-bilang. Aku hanya menitipkan secarik surat di meja makan. Isi surat itu mengatakan bahwa aku pergi ke sebuah tempat yang jauh. Ke tempat dimana aku bisa meraih semua mimpi-mimpiku.
          Manusia boleh berkeinginan, tapi jika Tuhan telah berkehendak lain. Maka apa boleh buat. Mobil yang membawaku pergi tertabrak bus. Supir bus itu ngantuk. Jadilah bus itu oleng dan menghantam mobil Reza. Aku dan Reza pingsan seketika.
          Untunglah ada orang mau menolong kami berdua. Kami dilarikan ke rumah sakit. Akulah yang menderita luka cukup parah. Kedua kakiku retak dan mukaku memar. Terlebih serpihan kaca itu mengenai kedua bola mataku. Sedangkan, Reza hanya menderita luka ringan.
          Reza sadar terlebih dahulu daripada aku. Ia segera menyelesaikan biaya pengobatan kami. Setelah itu, ia pergi meninggalkan rumah sakit itu. Aku pun tersadar. Setelah dua jam pingsan. Dokterlah yang memberitahu aku bahwa Reza sudah pergi.
          Aku merasa heran. Entah kenapa setelah perban dimataku dibuka. Aku tidak bisa melihat dunia ini. Muka dokter yang berada disampingku juga tak terlihat. Dan dokter pun berkata: “Serpihan kaca itu mengenai kedua matamu. Sehingga kornea matamu rusak. Inilah yang menyebabkan kamu tak bisa melihat lagi”
          Perkataan dokter itu membuat hidupku seakan tak berarti lagi. Hidupku kini menjadi gelap. Sekarang aku hidup sebatang kara dengan kegelapan. Si Reza memang lelaki pengecut. Dia meninggalkan aku sendirian. Dengan kegelapan ini. Aku sebenarnya butuh orang untuk membantuku menitih jalan. Jalan untuk meraih semua mimpi-mimpiku.
          Semua mimpiku telah sirna. Dihantam kenyataan pilu ini. Hari-hari setelah keluar dari rumah sakit. Kujalani tanpa arah dan tujuan. Aku berjalan dengan menggunakan tongkat pemberian rumah sakit. Dialah teman setia yang selalu menemaniku dimanapun aku berada. Dia yang menuntunku menyusuri jalan yang begitu gelap.
          Begitulah realita hidupku. Hingga sampai pada akhirnya aku tertangkap polisi. Aku dikira gelandangan oleh polisi-polisi itu.
          Tapi, Tuhan begitu baik padaku. Hingga aku masih bisa diselamatkan oleh-Nya. Ketika itu aku dibantu seorang pemuda. Dia yang membawaku pergi menjauh dari polisi-polisi itu. Nafasnya begitu terengah-engah. Ia menggandeng tanganku. Dengan langkah secepat kuda pacu.
          Alhasil, sampailah aku di sebuah sudut jalan.  Aku memberhentikan langkah kakiku. Di sebuah jalan yang menurut firasat ku itu sudah aman.”Hei, mengapa kau rela membawaku, padahal engkau tidak mengenalku?” tanyaku.
“Ini adalah kewajibanku.” Jawabnya sambil  meraih tanganku untuk terus lari.
          Ternyata ia membawaku pergi ke kontrakkannya. Disebuah gang kecil disudut kota. Ketika sampai, ia lekas memanggil kelima temannya. Ia berusaha memperkenalkan temannya itu padaku. Semuanya menyambutku dengan ramah.
***
          “O, ya..kamu disini saja. Aku akan pergi dulu sebentar.” Kata pemuda itu.
          “Oh, maafkan aku jika merepotkanmu?”
          “Tidak, ini adalah kewajibanku.” Jawabnya untuk kedua kalinya ia mengatakan seperti itu.
          “Hoho..kau mengatakan ini sudah dua kali lho.”
          “Hehe..sudah ya aku berangkat dulu.” Ujarnya.
          Suara tapak kakinya kian menjauh. Mungkin, ia sudah berada jauh dari rumah ini. Perlahan tapi pasti. Aku mulai akrab dengan mereka semua. Mereka semua begitu baik.
          “Tapi aku harus bisa membalas kebaikan mereka semua.” Gumamku dalam hati.
          Kubangkitkan seluruh jiwa-ragaku. Aku bulatkan niat untuk membuat nasi goreng itu. Mumpung tidak ada orang di rumah selain aku. Kutapakki kakiku di lantai. Kucari tongkat dengan tangan kiriku. Tangan satu lagi kugunakan untuk meraba tembok menuju dapur. Jalanku menuju dapur tak semulus kain sutra. Beberapa kali aku terjatuh. Dan untuk sekian kalinya aku menabrak benda-benda di rumah itu.
          Belum sempat aku menyelesaikan pekerjaan itu, ternyata ada sesorang mengetuk pintu.
          “Hei, bukakan pintu”
          “Bentar” teriakku dari dapur.
          Ternyata suara orang yang datang itu persis dengan pemuda yang menolongku tempo hari.
          “Hei, lama sekali membukakan pintunya.” Tegur pemuda itu.
          “Maaf…aku sedang di dapur.” Jawabku tersipu malu.
          “Hei, ini kubawa tasbih untuk menemani hari-harimu. Semoga kau suka..”
          “Makasih ya, aku sangat suka.”
          Aku malu dengan semua ini. Mengapa aku baru ingat Tuhan saat aku buta? Mengapa tidak saat aku masih bisa melihat?, sesalku dalam hati.
***
          Pemuda itu sangat baik. Temannya juga sangat ramah padaku. Mereka dengan senang hati menerimaku di kontrakannya.
          Tidak seperti si Reza, pikirku. Pokoknya aku tidak akan memaafkan Reza. Kemana dia coba? Dia tidak menolongku saat aku buta. Aku benci sama yang namanya Reza.
          “Sssstt…diam jangan berisik! Jangan sampai terdengar sama Rifa. Kalian jangan sampai memberitahu bahwa yang menyuruh kalian membantu dia adalah aku.” Suara itu jelas terdengar. Ketika aku ingin ke kamar mandi. Aku berhenti sejenak mendengar pembicaraan itu.
          Meskipun aku tidak bisa melihat. Tapi aku bisa mendengar suara itu. Suara itu…
          Suara Reza, ya benar itu jelas suara Reza.
          Kubuka pintu itu. Orang-orang yang sedang berbicara itu kemudian diam. Seseorang menghampiriku.
          “Rifa…” terdengar suara menyapaku.
           Firasatku benar. Dia adalah Reza. Dia memelukku erat-erat.
          “Ini benar Reza?” Tanyaku penasaran. Aku mencoba  meraba mukanya.
          “Iya…”      
***
          “Rifa banguunnn…sudah nyampe.” Suara Reza membangunkanku.
          Aku mengucek-ngucek mata. Dan aku sadar aku tertidur di mobil Reza.
          “Rezaaaa…maafin aku!” Teriakku sambil memeluk Reza.
          “Kenapa sih kau?”
          “Engga papa, pokoknya kamu adalah Lentera Jiwaku.”
***

Stadium Empat Oleh: Diyanti Sholifiany


 “Hei ngeliat pensil aku gak?” Ini sekian kalinya aku lupa menaruh pensil itu. Padahal pensil itu adalah pensil pemberian Papa ketika pergi ke Bali.
            Serempak anak-anak sekelas menjawab:”Enggak”
            “Aduh dimana pensil aku ya….” Gumamku dalam hati.
            Kata orang tanggal ini cukup menarik. Soalnya hari ini adalah awal di bulan Maret 2011. Tapi menurutku seratus persen. Tidakkk. Tanggal 01 bulan 03 tahun 2011 ini begitu menyebalkan. Bagaimana tidak?
            Di pagi harinya aku sudah di omelin sama Mama. Padahal cuma gara-gara gak cepat-cepat mandi. Itulah Mama, dia emang suka membesarkan masalah.  Yang seharusnya satu kata, ini dibuatnya jadi seribu kata. Sebuah kalimat yang betul-betul menjengkelkan.
            “Hmmh.. tapi ini ulahku juga sih. Hal ini betul-betul tak disengaja. Suerrr !! Pagi itu saat mataku sudah terbuka. Pikiran pertama yang teringat yaitu buku paket fisika Bu Meri. Tapii…”
            Tapi itulah yang terjadi. Aku memang seperti nenek-nenek. Yang seringkali pikun. Yang seringkali menuduh orang lain, bila barang tersebut tidak ditemukan.
            Lalu, ketika di sekolah. Aku benar-benar tak konsen belajar. Aku melamun memikirkan dimana buku fisika bu Meri.
            Guru Pkn yang super killer. Spontan bertanya:
            “Aku, apa arti kata hubungan?”
             Spontan Aku menjawab:”Ikatan cinta,bu…”
            “Apaaa????”
            Tanpa aba-aba seisi kelas spontan menertawakanku. Tidak terkecuali Haikal, sahabat ku sendiri. Dia terlihat menertawakanku dengan puas. Meski ditutup dengan tangannya. Ekspresinya itu loh begitu keliatan. Ia benar-benar puas!
            Pita suaraku seakan tak bergetar lagi. Kali ini aku benar-benar merasa tak bisa bersuara lagi. Hari yang begitu vacum  ngomong.
            Mungkin, jika aku menjawab arti kata itu dengan arti yang sebenarnya yaitu interaksi. Aku tidak akan ditertawakan seperti ini. Huhh !
            “Sya, kamu kenapa?” Tanya Haikal mendadak.
             Sorot matanya begitu menyejukkan. Ia memandangku begitu syahdu.
            “Hei, kenapa?” ulang Haikal.
            “Engga… Ga kenapa-kenapa ko.”     
            Haikal mencoba mendekatiku. Diambilnya bangku, kemudian ia duduk di depanku. Tapi aku hanya bisa menunduk. Rasa malunya kini memuncak.
            “Kenapa Sya?”
            “Akuuuu…….gak papa!”
***
            …Walau badai menerpa. Cintaku tak kan ku lepas. Berikan kesempatan untuk membuktikan ku mampu jadi yang terbaik. Dan masih jadi yang terbaik... Lagu Nikita Willy terngiang-ngiang dalam telingaku.
            Tiba-tiba suara itu hilang. Aku begegas melihat apa penyebabnya. Ternyata dihapeku tertulis 1 pesan diterima.  
            “Sya kamu kenapa sih?” begitu isi sms itu.
            Jari-Jemariku  begitu refleks membalas sms itu:”Aku ga kenapa-napa, kal. Aku Cuma bingung nyari buku fisika bu Meri. Yang waktu itu aku pinjem buat olimpiade. Hehhe..”
            ”Hmmmhh…Cuma gara-gara itu?”
            “Iya..heehe”
            “Sya, kamu tau ga?”
            “Tau apa?”
            ”Buku fisika itu… ada di aku tau…waktu itu kan aku pinjem buku itu ke kamu, sya. Kamu lupa?”
            “Astagfirullah..hhe..iya aku lupa”
            “Euhh.. nenek-nenek dasar..hehe..peace !”
            Begitu lega mendengar berita ini. Rasanya seakan diberi hujan ketika gersang tiba.
***
            Pagi itu…
            “Sya, ini uang bulananmu.” Ujar Mama ketika di meja makan.
            Mama emang selalu memberi uang saku di tanggal satu. Mumpung hari ini hari Minggu. Aku ikut Mama pergi ke mall. Sekalian beli sesuatu untuk Haikal. Setidaknya ada sesuatu yang bisa bermanfaat untuk Haikal.
            Sesampainya di Mall, kami berjalan menyusuri toko-toko di Mall. Sepatu basket berwana putih dihiasi corak biru. Kurasa cocok untuk Haikal. Dengan harapan bisa bermanfaat untuk lomba basket tingkat provinsinya.
            Terasa begitu lama shopping bersama Mama itu. Orang Mama kalau belanja, nawarnya selangit. Padahal kita tau bahwa di mall itu tidak bisa nawar, kan? Dan hasilnya nihil. Tak ada yang dibeli oleh Mama.
             “Mama sepatu yang tadi aku beli mana? Kok ga ada?”
            “Ah, dasar kau. Lah tadi kan dibawa sama kamu, tho?”
            “Ihhhh…, Aku lupa, ma. Balik lagi ke mall ya.”
            Alhasil mobil yang Aku kendarain mutar balik. Dan mobil itu meluncur dengan kecepatan 80 km/jam.
***
            Aku berharap semoga kesialan itu tak berlaku lagi pada hari ini.
            Tapiiiii…
            Kejadian pekan lalu terulang kembali. Namun, dengan sesuatu yang berbeda yaitu flashdisk. Padahal disana itu isinya data-data untuk tugas presentasinya. Jadilah, gatot semua rencana presentasinya. Semua yang telah aku persiapkan hilang begitu saja. Apalagi ketika teman-teman sekelompoknya banyak yang tak hadir. Alhasil hanya berempat, aku tampil presentasi. Akhirnya, presentasi itu berjalan tanpa media pembelajaran power point. Cuma dengan dipresentasi biasa.
            Dan akhirnya guru Biologi itu berkomentar. Mengapa ini presentasinya cuma sedikitan? Mana yang lain? Seharusnya kalian mempersiapkannya matang-matang presentasi ini! Lalu jawaban kalian tentang sistem pencernaan yang ditanyakan peserta diskusi. Begitu melenceng dari yang sebenarnya? Dan bla…bla….bla.
            Perasaanku sudah menggebu-gebu untuk mencari flashdisk itu. Ketika sudah sampai di rumah. Aku obrak-abrik semua barang yang ada di rumah. Dari mulai kamar, ruang keluarga, sampai dapur. Habisku obrak-abrik. Tapi hasilnya tetap sama. Flashdisk itu gak ada!
            Ketika itu aku menuduh Papa. Bahwa Papa lah yang menyimpan flashdiskku itu. Mungkin dengan harapan aku tidak akan jorok menyimpan barang lagi. Berulangkali aku mengulang pertanyaan itu. Dan berungkali pula Papa menjawab: enak saja kamu nuduh orang sembarangan.
            “Tasyaaaaaaaaa…….”
            “Ini apa?” Tanya Papa sambil menunjukkan flashdisk yang ada di tangannya.
            “Hehe.. Papa nemu ini dimana?”
            Kali ini Papa tak berkutik. Dia hanya mengambil koran dia atas meja ruang tamu.
            “Ihhhhh…” jawab Papa sambil berjalan meninggalkan ruang tamu. Tak lupa ia memberikan kenang-kenang menyakitkan yaitu satu cubitan bersarang dipipiku.
***
            “Haikal..haikal” tanyaku sambil cengengesan.
            “Hai..ada apa? Keliatannya seneng banget?”
            “Hemmmhh…”
            Lanjut Aku. “Eeeeeeee….”
            “Haikal gimana sekarang jadi latihan gak?” Tanya Tania tiba-tiba.
            “Oh…latihan ya. Jadi kok.”
            Haikal terlihat sangat ramah menjawab pertanyaan Tania.
            Tak lama kemudian, bel berbunyi. Dentang suara bel itu terdengar sampai seluruh penjuru kelas. Apalagi kelasku begitu dekat dengan tempat dimana bel itu berada.
            Bu Meri langsung nyelonong masuk kelas. Salam gitu kek. Katanya guru itu adalah contoh untuk anak muridnya. Ini mana buktinya? Sepuluh detik kemudian Ferdy memimpin doa. Dan tau gak? Bu Meri menjawab salam itu dengan wajah tegas.
            Dan…
            “Ayo anak-anak sekarang buku fisika dan kerjain tugas fisika halaman 18. Ibu tinggal dulu ya.”
            “Aduuuhhh mana buku fisika aku? Oh My God…dimana buku itu?” teriakku sembari menggaruk-garuk kepala.
            “Ini buku kamu ada di aku tau.” Jawab Haikal.
            “Masa? Kenapa aku lupa?”
            “Ihhh...dasar nenek-nenek. Kan waktu itu aku udah ngomong lewat sms. Gimana sih? Plis deh!” 
***
            Siang itu sepulang sekolah. Haikal mengajakku pergi ke mall. Tumben-tumbenan dia ngajak aku. Kan biasanya itu aku yang ngajak dia duluan. Mungkin dia lagi kesambet sama peri. Jadi, dia baik deh. Hoho..
            Kira-kira butuh waktu 30 menit untuk sampai di mall itu. Kami berdua pergi menggunakan jazz hitam milik Haikal.
            Di perjalanan selalu saja ada ledekan. Haikal memang pandai menghibur hati orang. Terkadang dengan melihat mukanya yang kocak saja orang langsung ingin ketawa. Lalu, ketika sedang sedih. Ia bisa merubah 100 % kesedihan menjadi tertawa cengakakan. Dia benar-benar seorang yang humoris.
            “Sya, kita ke restoran itu yuk?” ajaknya.
            Aku hanya menganggukkan kepala. Tanda setuju.
            “Woi, kenapa lagi?”
            “Gapapa tapi kayak ada yang lupa. Tapi apa ya?”
            “Ah, itu hanya perasaan kamu saja. Ayo kita duduk disana..”
            “Kal, hp aku gak ada. Seinget aku tadi tuh hp aku taro di kolong meja.”
            “Ya sudah ayo kita balik lagi ke sekolah. Tapi kita selesain makan dulu.” Jawabnya tersedak. Ketika ayam goreng masih ada di mulutnya.
            Pintu gerbang hampir saja ditutup satpam. Mungkin jaraknya tinggal semeter lagi. Dengan tampang serius. Aku langsung turun. Sementara Haikal menungguku di mobil.
            Lima belas menit kemudian. Aku kembali dengan  raut muka begitu bahagia.
            “Hape nya ada gak?” kata Haikal sembari membuka pintu.
            “Ada. Hehhe..”
            “Ayo kita pulang !”
            Mobil jazz hitam segera meluncur meninggalkan sekolah yang sudah sepi. Menyusuri Jalan Merdeka.
            Aku memulai pembicaraan: “Kal aku pengen cerita deh.”
            “Cerita apa? Serius banget?”
            “Coba tebak aki-aki naon nu jang-jangan?”.
            “Hmmhh..aki-aki manuk aya jang-jangan..” jawab Haikal sambil tertawa. Lesung pipi Haikal begitu mempesona.
            “Salah…Sok aya geuning aki-aki: jang-jang kadieu geura. Hehe.”
            “Euh… kirain apa.” Geram Haikal. “Sekarang giliran aku yang ngomong.” Lanjutnya.
            “Ngomong apa?”
            “I Love You. Aku ingin hubungan kita lebih dari sekedar sahabat. Aku ingin selalu menjagamu. Aku tunggu jawabanmu besok.”
            “Haha..” Jawab Aku dengan bahagianya.
            Aku memang terlampau cuek. Hampir semua perkataan Haikal. Aku anggap hanya guyonan. Atau sekedar rasa sayang seseorang untuk sahabatnya.
            “Kal, ini sepatu basket buat kamu.”
            “Oh, ini yang dari tadi kamu mau omongin.” Jawab Haikal dengan muka kesal.      Aku hanya mengangguk dan tersipu malu.
***
            “Apa? Haikal gak ada?” teriakku. Saat Sely sedang bertanya dimana Haikal.
            Aku terkejut. Padahal aku kan baru menginjakkan kaki di sekolah. Dasar si Sely nanya sama orang yang baru dateng.
            “Suerrr…aku gak tau deh dimana dia.” Ucapku.
            Mukaku merah padam bak kebakaran jenggot, langkah kakiku dipercepat menuju kelas. Aku sudah tak tahan untuk mencari Haikal. Tapi Haikal juga tak ada. Kemana perginya dia? Dia seolah ditelan pusaran Segitiga Bermuda.
            “Mungkin dia di kantin.” Aku celingak-celinguk di kantin.
            Haikal tetap saja tidak ada. Meskipun aku sudah menggeledah seluruh isi sekolah Tapi tetap saja nihil. Dia tidak ada.
            “Hei…ada yang liat Haikal gak?” ujarku ke beberapa orang yang sedang asyik ngobrol.
            “Enggak, tuh.” Jawab salah satu diantara mereka.
            Haikal yang selama ini menjadi sahabatku. Hilang. Meskipun baru hari ini. Tapi aku merasa begitu kehilangan.
            “Harus kemana lagi aku mencarinya?” gumamku.
            Ya… Aku harus langsung pergi ke rumah Haikal. Untung saja aku bertemu Bi Minah.
            “Bi, Haikal ada?”
             “Non, lupa yaa… Haikal kan lagi lomba basket.”
            Yeahhh…penyakit lupaku kambuh lagi. Aku baru teringat ketika Bi Minah berkata seperti itu. Mungkin jika aku gak ke rumah Haikal, aku pasti kalangkabut mencari dia.
            “Oia, kan Sely gak masuk sekolah kemarin. Pantas saja dia bertanya padaku.” Seruku sambil memegang kepala.
***
            Hari ini aku sangat bahagia. Karena sahabat yang paling aku sayangi sekarang sedang duduk disampingku di sebuah taman dekat rumah. Ya, setelah sehari kita tidak bertemu. Akhirnya aku sekarang bisa bercanda lagi sama dia.
            Dia bercerita soal pertandingan basketnya kemarin. Katanya skor yang didapat oleh timnya adalah 21. Karena skor yang tinggi itulah, membuat timnya lolos ke babak final, minggu depan.
                Tiba-tiba Haikal bertanya tentang jawabanku tentang pertanyaannya waktu itu. Sungguh, aku benar-benar bingung dibuatnya. Aku harus menjawab apa. Tidak terlintas dalam otakku akan pertanyaannya ini.
            “Kal, aku lapar nih. Kita beli baso di Pakde yuk?” Ajakku untuk mengalihkan pembicaraan.                     
            Haikal tidak berkata apa-apa, ia langsung nurut sama ajakkanku itu. Kami berdua berjalan sekitar seratus meter untuk sampai ke warung Pakde.
            Setelah selesai makan baso, aku mengajak Haikal untuk ke rumahku. Aku ingin sekali ia mengajariku bermain gitar. Selain jago bermain basket, dia juga mahir bernyanyi dan bermain alat musik. Pernah ketika SMP dulu ia sempat menjuarai lomba menyanyi. Tidak tanggung-tanggung dia menyabet juara 1.
            “Kal, makasih ya udah mau datang kesini.”
            “Iya.” Jawabnya lembut.
            Dia begitu sabar mengajariku bermain gitar. Tanpa ada sedikitpun rasa kesal hinggap dimukanya. Hampir dua jam Haikal setia mengajariku bermain gitar.
            “Oia, habis ini ajarin pr Bahasa Indonesia lah.” Pintaku dengan manja.
            “Yaelah…masa seorsng maestro fisika gak bisa ngerjain pr Bahasa Indonesia. Payahh..” Dari raut wajahnya dia terlihat sedang meledekku dengan puas.
            Bagiku Haikal adalah seorang yang paling baik. Tentunya setelah Mama dan Papaku lah. Kami memang sudah berteman sejak kecil. Itulah yang membuat kami lengket seperti amplop dan perangko. Tanpa ada Haikal, mungkin hidupku terasa hambar. Ibarat sayur tanpa garam.
            Alahhh… lebay sekali diriku ini.
***
            Sejak berita kematian ayah Haikal tiba di Indonesia. Ibunya mengajaknya untuk tinggal di Belanda. Sudah hampir sepuluh tahun ayah Haikal menetap disana. Katanya, ayahnya itu beralasan bahwa neneknya menyuruh ayahnya mengurusi perusahaan keluarganya.
            Tapi ibunya tetap bersikukuh untuk tetap tinggal di Indonesia dengan anak semata wayangnya itu. Tentu, dengan alasan yang sama seperti ayahnya.
            Ajaibnya, kedua orang tua Haikal tetap saling mencintai. Mereka masih tetap merajut kisah cinta. Walaupun hanya dengan email.
            Setelah sekian tahun tak berjumpa dengan suaminya. Ibunya memutuskan untuk pergi ke Belanda menemui ayahnya. Meskipun hanya dapat melihat sesosok pria yang sudah terbujur kaku.
            Ini semua menjadi bumerang buatku. Setelah sekian lama aku merajut persahabatan dengannya. Kini, dia akan pergi ke tempat yang jauh. Bahkan mungkin akan tinggal disana untuk selamanya.
            Aku hanya mampu menitip sepucuk surat untuk Haikal. Tentunya dengan bantuan Bi minah. Orang yang begitu ramah padaku: 
            To Haikal:
            Haikal, maafkan aku jika selama ini aku merepotkanmu. Selalu saja ada lupa yang membuatmu ikut turun tangan membantuku.
            Haikal, terima kasih sudah mau menjadi sahabatmu. Sudah mau melukiskan kisah-kisah yang tak akan mungkin terlupakan selama ini.
            Haikal sahabat ku..    
            Aku masih mengingat kata-kata mu dulu. Ketika di mobil jazz hitammu.
            I Love You, Tasya…
            Bukannya aku acuh dengan perkataanmu itu. Tapi aku akan menjawab pertanyaanmu itu pada tanggal 11Maret 2011. Tepat dimana hari ulang tahun persahabatan kita yang ke-10.
            Yeahhh… I Love You too, Haikal.
            Ya. Meskipun penyakit pikunku sudah stadium empat. Hehe..
Sahabatmu yang selalu menyayangimu.
Tasya.

Senin, 13 Agustus 2012

Ngomong soal cita-cita sebenernya bikin bingung.hahaha
Apalagi saat SMA kelas 3, itu tuh puncak-puncaknya bingung milih kuliah dimana.
 "Di, kamu mau kuliah dmn?" tanya seorang teman.
 "ITB" jawab dengan mantap. Tapi entahlah mau jurusan apa.hhe
 "Mau jurusan apa?"
 "Hmm. apa ya?" mikir sejenak. "SAPPK aja deh"
 "Oh mau jadi arsitek ya?"
 "Mau banget." Apalagi kalau inget Ridwan Kamil saat TOENAS. Wah, pokoknya bikin mantap pengen kesitu deh.

 Aku pun pulang dengan perasaan masih bingung.Huaaa
Waktu SNMPTN UNDANGAN suda dekaaat... Dan aku pun akhirnya milih ARSITEKTUR di UPI.
Yaa meskipun sedikit kecewa juga sih. Tapi pilihan pertama tetap ITB sih. Emang niatnya pengen kuliah disana sih. Tapiiiii aku pilih SITH-Rekayasa dan FITB meteorologi. haha Lucu juga sih ngeliat nya.

 ALHASIl, dan aku pun keterima di SITH ITB yeayyy...
Segala Puji Bagi Allah
Seneng banget dan masih engga percaya deh pas liat pengumumannya.hoho Pengumumannya tuh dibarengin sama pengumuman UN ternyata. Dan setelah pengumuman UN di sekolah aku pun langsung meluncur ke tempat bimbel.Saat itu masih engga tau ternyata diumuminnya hari itu juga. Tau nya tuh pas sore.haha Meskipun ga jadi di arsitek, tapi arsitek selalu dihati. Aku pun akan belajar arsitek secara otodidak melalui teman" ku.hhe Karena aku tetap berpikir, INI YANG TERBAIK dan AKU PASTI JADI YANG TERBAIK JIKA AKU MELAKUKAN YANG TERBAIK. Salam Sukses yaa kawan semua. :)