Kamis, 24 Desember 2009

Antara Cita-cita, Usaha, dan Doa

Hai Sobat, kalian pasti semua punya cita-cita, kan? Nah, pertanyaannya apakah usaha kalian untuk mewujudkan cita-cita itu sudah cukup?

Cita-cita bisa diartikan sebagai harapan seseorang untuk memperoleh kehidupannya yang lebih baik. Cita-cita itupun bisa berupa pekerjaan misalnya menjadi dokter, polisi, pilot, dsb; memperoleh kekayaan ataupun punya prestasi di akademik maupun non akademik khususnya kita sebagai pelajar.

Kalian pasti tahu ungkapan, ”Dimana ada kemauan, pasti ada jalan”. Ungkapan ini penting untuk kalian ingat dan pahami maknanya untuk memotivasi menggapai cita-cita yang kalian dambakan. Sebagai contoh seseorang yang bercita-cita menjadi dokter, usahanya dapat kita lakukan mulai dari mengubah perilakunya yang tadinya malas menjadi giat belajar dan mau hidup sederhana demi cita-citanya itu.

Keterbatasan ekonomi kerap menjadi penghalang untuk mewujudkan cita-cita. Tapi, bagi mereka yang memiliki kemauan kuat, hambatan itu bukannya tidak bisa di atasi. Banyak kisah orang yang sukses meraih cita-citanya dengan semangat pantang menyerah dan hidup prihatin. Sambil bersekolah atau kuliah, mereka mau melakukan pekerjaan apa saja selama itu halal mulai dari berjualan koran, pelayan restoran, ataupun pedagang makanan. ”Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang kemudian” adalah ungkapan yang tepat bagi orang-orang yang memiliki semangat juang seperti itu.

Bagi kalian yang memiliki prestasi belajar yang bagus, mencari beasiswa dapat dilakukan untuk mewujudkan cita-cita. Saat ini banyak sekali informasi tentang beasiswa tersedia di internet. Tinggal kita mau mencarinya dan kemudian berusaha mengajukan permohonan atau aplikasi.

Keberhasilan tidak akan kita peroleh apabila tidak dibarengi dengan doa dan hanya usaha saja yang kita lakoni. Karena doa merupakan salah satu kunci keberhasilan juga. Terpenting yang harus kita lakukan adalah meminta doa restu kedua orang tua karena doa orang tua pasti dikabulkan.

Jadi, untuk mendapatkan cita-cita yang kita inginkan kita harus berusaha dari sekarang dan berdoa kepada Tuhan niscaya cita-cita itu akan kita dapatkan. Tentunya dengan melakukan yang terbaik untuk mendapatkan cita-cita itu karena dengan itulah kita dapat membahagiakan orang tua kita.

oo00oo

Selasa, 15 Desember 2009

UNTUNGNYA AKU MENABUNG DI BANK !

Oleh: Diyanti Sholifiany

Aku adalah seorang gadis remaja. Saat ini aku duduk di kelas satu SMA. Lewat tulisan ini aku ingin menceritakan pengalamanku sebagai nasabah bank. Bagi kebanyakan orang, pengalaman ini mungkin biasa-biasa saja, tapi bagiku pengalaman ini sangat berkesan.
Ceritanya dimulai sekitar empat tahun lalu. Saat itu aku baru lulus SD. Saat mau melanjutkan ke SMP orangtuaku menginginkan agar melanjutkan ke sekolah berasrama saja. Salah-satu pertimbangannya adalah agar aku mendapatkan pendidikan yang lengkap baik pendidikan umum maupun agama. Selain itu, dengan sekolah berasrama aku bisa mulai belajar hidup mandiri. Aku pun setuju karena itu adalah keinginanku juga.
Karena itu, selepas lulus SD aku mulai belajar tinggal jauh dari orangtua. Orangtuaku tinggal di Bekasi sedangkan aku melanjutkan SMP di sebuah sekolah berasrama di pinggiran kota Bandung. Sekolah ini sudah cukup dikenal luas sebagai sekolah yang bermutu. Oleh karena itu, banyak orangtua yang menitipkan anaknya di sekolah ini.
Sejak itu, aku pun jadi anak asrama. Peraturan sekolah menetapkan bahwa para murid berasrama ini hanya boleh pulang atau ditengok orangtuanya dua bulan sekali. Karena tinggal jauh dari orangtua, aku pun harus belajar mengatur diri sendiri termasuk soal keuanganku.
Awalnya aku kerepotan juga mengatur soal keuanganku ini. Soalnya, aku belum terbiasa melakukannya. Saat masih tinggal bersama orangtua, aku tidak perlu repot-repot memikirkannya. Uang untuk keperluan sekolah maupun uang saku sudah dijatah setiap hari. Jika ada kurang-kurangnya tinggal minta lagi. Walaupun karena itu orangtua sering ngomel-ngomel karena menganggapku boros dan sebagainya.
Kini, setelah aku tinggal di asrama, aku harus mengatur sendiri uang kiriman orangtua setiap bulannya. Orangtuaku mengirim uang itu via transfer antar bank. Adanya layanan transfer uang secara elektronik ini jelas sangat membantu karena uang kiriman orangtuaku bisa terkirim dengan cepat, yakni dalam hitungan beberapa menit saja. Hal ini jelas berbeda kalau uang itu dikirim lewat wesel pos biasa. Setelah uang dikirim, orangtuaku biasanya mengirim SMS bahwa uang sudah dikirim. Setelah itu, aku bisa pergi ke ATM terdekat untuk mengambil uangnya. Beres! Uang kiriman pun kini sudah berada di tanganku. Sejak itu, aku pun mulai akrab dengan salah-satu layanan bank ini.
Selain merasakan manfaat layanan ini, sebagai anak asrama aku juga mulai merasakan manfaatnya menabung di bank. Sewaktu tinggal dengan orangtua, aku mendapatkan uang jajan setiap hari. Kata teman-temanku, uang jajan yang kuterima tiap hari sebenarnya cukup besar. Anehnya, uang jajanku itu selalu habis begitu saja bahkan sering kurang. Artinya, boro-boro aku bisa menabung. Itulah sebabnya aku sering disebut boros, karena teman-temanku dengan uang jajan yang lebih sedikit ternyata bisa juga menabung.
Kini, setelah tinggal jauh dari orangtua, uang untuk biaya hidupku hanya dikirim setiap bulan. Dengan cara ini, aku seolah-olah mendapat ”gaji” bulanan dari orangtua. Orangtuaku mewanti-wanti agar aku bisa mengatur ”gaji” agar cukup sampai bulan berikutnya. Kalau sampai nombok menjadi repot juga urusannya, karena aku jauh dari sanak famili.
Tapi, justru karena itu aku merasa tertantang. Aku tidak ingin lagi dicap boros. Karena itu, aku pun bertekad akan menyisihkan berapa pun uang jajanku untuk ditabung. Pokoknya, aku ingin membuat kejutan buat orangtuaku. Kejutan untuk menunjukkan bahwa aku tidak seboros yang mereka duga. Tapi, bagaimana caranya?
Tadinya, aku berniat menyisihkan uangku itu di celengan saja. Maksudnya, agar aku sewaktu-waktu bisa mengambilnya jika sedang kepepet. Tapi, aku merasa ada saja godaan untuk mengambil uang tabunganku itu, entah untuk jajan atau pun keperluan lainnya.
Selain itu, kadang-kadang aku merasa tidak aman dengan uang simpananku itu. Maklumlah, aku kan hidup di asrama bersama-sama dengan orang lain. Bukannya aku berburuk sangka pada teman-teman seasrama tapi rasa tidak aman tetap saja menghantuiku. Terlebih beberapa waktu lama, sempat kejadian teman seasramaku kehilangan uang cukup besar yang disimpannya di lemari pakaian.
Dengan beberapa pertimbangan itu, akhirnya aku memutuskan untuk membuka rekening tabungan di bank atas namaku sendiri. Kebetulan, dekat sekolahku ada Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Syariah yang masih satu grup dengan Yayasan tempat sekolahku bernaung. Karena ingin membuat kejutan, aku sengaja tidak memberitahukan hal ini pada orangtuaku.
Begitulah, sejak saat itu aku mulai rajin menabung di bank BPR itu. Awalnya, tidak mudah membiasakan diri menabung di bank itu. Yang jelas, aku harus mengubah kebiasaanku dalam menabung. Ketika masih menabung di celengan, aku merasa kurang disiplin baik saat menyimpan maupun menarik tabungan. Tapi, sejak menabung di bank aku merasa lebih termotivasi untuk terus menabung. Aku merasa malu sendiri kalau uang tabunganku di bank tidak nambah-nambah. Selain itu, aku lebih terbiasa untuk tidak terlalu gampang mengambil uang tabunganku kapan saja. Lebih dari itu, aku merasa tidak khawatir lagi akan kehilangan uangku karena dicuri dan sebagainya. Pokoknya, aku merasakan perbedaan yang nyata ketika aku mulai menabung di bank dengan menabung di celengan.
Tiga tahun berlalu, tak terasa aku sudah menyelesaiankan pendidikanku di SMP. Prestasiku pun tak mengecewakan, karena aku lulus dengan nilai UAN yang membanggakan. Seiring kelulusanku itu, aku pun mengecek tabunganku di BPR itu. Wah, ternyata lumayan juga jumlahnya untuk seorang yang belum punya penghasilan sepertiku! Selain uang pokok simpananku itu, ternyata ada juga uang bagi hasil yang langsung ditambahkan pada simpanan pokok itu. Katanya, uang bagi hasil ini sebagai pengganti bunga kalau di bank non-syariah. Dilihat dari jumlahnya, tabunganku ini cukuplah untuk membeli sesuatu yang berharga untuk keperluanku sendiri.
Saat libur tahun ajaran baru, aku pun pulang ke rumah membawa berita kelulusan itu dan juga ”sesuatu” yang ingin kutunjukkan kepada keluargaku. Sesuatu itu tidak lain adalah sebuah laptop mungil yang sudah kuidamkan sejak dulu. Aku memerlukan alat ini selain untuk keperluan sekolah juga untuk menyalurkan hobiku dalam tulis-menulis.
Saat kutunjukkan laptop mungilku ini kepada keluarga, mereka pun nampak heran.
”Wah, laptop siapa ini, Ti?” tanya ibuku heran.
”Punya aku dong mah, emang punya siapa lagi,” jawabku bangga.
”Emang kamu punya duit darimana bisa beli laptop seperti ini. Harganya kan mahal bisa jutaan?” ayahku menimpali.
”Ini hasil uang tabunganku, Yah,” jawabku.
”Emang kamu bisa nabung. Selama ini kan kamu boros,” celetuk kakakku setengah tak percaya.
”Bisa dong, ini karena gara-gara aku rajin menabung di bank sejak aku jadi anak asrama,” jawabku.
”Wah, bagus kalau begitu. Berarti kita tidak sia-sia menyekolahkamu jauh-jauh ke Bandung. Salah-satunya kamu jadi lebih pintar mengatur uang,” ayahku memuji.
Kini, aku sudah duduk di SMA. Laptop mungil hasil tabunganku ternyata sangat membantu baik untuk mendukung pelajaran sekolah maupun untuk menyalurkan hobiku menulis. Kini, kebiasaanku menabung di bank seperti waktu di SMP masih aku teruskan karena aku menyadari manfaatnya banyak sekali. Membeli laptop mungil dengan uang tabunganku sendiri itulah salah-satu manfaatnya. Lebih dari itu, aku kini lebih bijaksana dalam soal mengatur uang.
ooo000ooo
Bandung, 30 November 2009

SITUS-SITUS PERTEMANAN

Oleh:
Diyanti Sholifiany

“Silaturahmi itu memperbanyak rizki”, demikian agama Islam mengajarkan. Makna rizki di sini tentu luas. Dia bisa berupa materi, pengetahuan, kesempatan dan apa saja. Pokoknya, sesuatu yang memberikan kemaslahatan bagi kita.
“Kenapa silaturahmi bisa memperbanyak rizki?”. Tentu, ini juga bisa kita pahami dari berbagai segi. Yang jelas, manusia itu kan makhluk sosial. Artinya, manusia tidak bisa hidup sendiri. Karena itu, dia butuh orang lain agar bisa hidup secara normal. Seorang bayi baru lahir, misalnya, sungguh merupakan makhluk tak berdaya. Agar bisa tumbuh dan berkembang, dia butuh perhatian dan kasih sayang dari orang-orang di sekitarnya, terutama orangtuanya. Ketika menginjak anak-anak dan remaja, dia juga butuh teman bermain. Saat dewasa dia juga butuh bantuan orang lain, misalnya, untuk bekerja mencari nafkah.
Konon, ada sebuah cerita dimana seorang manusia terpaksa hidup sendirian di hutan. Ketika bayi dia dibesarkan oleh seekor serigala. Dia memang hidup, tapi karena tidak pernah berinteraksi dengan manusia, perilakunya pun menjadi mirip serigala yang membesarkannya.
Jadi, seseorang memang butuh orang lain. Bukan saja untuk memenuhi kebutuhan lahirnya, tapi agar dia bisa tumbuh dan berkembang sesuai kodratnya sebagai manusia. Itulah mungkin tafsiran sekilas tentang makna “silaturahmi memperbanyak rizki itu”.
Nah, bagaimana dengan kita-kita ini sebagai remaja. Kita pasti butuh banyak teman juga, bukan? Betapa enaknya kita punya banyak teman karena dengan teman kita bisa tolong-menolong, tukar-menukar informasi sampai curhat masalah-masalah pribadi. Karena itu, kita tentunya ingin menjalin pertemanan sebanyak mungkin. Bahkan tidak hanya sebatas teman di rumah atau sekolah, tetapi juga teman di kota lain bahkan di mancanagara.
Beruntunglah kita yang hidup di era internet saat ini, karena teknologi ini menyediakan banyak kemudahan bagi mereka yang ingin menjalin pertemanan seluas mungkin tanpa dibatasi ruang dan waktu. Apalagi di internet, kini tersedia berbagai situs pertemanan atau situs jaringan sosial. Sebut saja di antaranya Friendster, Facebook dan kini yang lagi ngetrend “Twitter”. Ke depan, entah situs-situs apalagi yang bakal bermunculan ya...
Kemudahan yang disediakan oleh situs-stus pertemanan ini memang luar biasa. Sebagai gambaran, orang-orangtua kita dulu juga mungkin hobi menjalin pertemanan secara jarak jauh. Caranya adalah melalui kegiatan surat-menyurat yang disebut sahabat pena.
Di zamannya, hobi sahabat pena ini sangat populer dan sangat mengasyikan. Tapi, bagi kita yang hidup di era Facebook dan Twitter saat ini, hobi ini mungkin merepotkan. Bayangkan, untuk mengontak sahabat penanya, pertama-tama, seseorang harus menulis surat berlembar-lembar. Setelah itu, memasukannya ke dalam amplop dan dibubuhi perangko secukupnya lalu mengirimkannya lewat pos. Selanjutnya, dia harus sabar menunggu berhari-hari, berminggu-minggu bahkan mungkin berbulan-bulan untuk mendapatkan balasan suratnya.
Jelas, bersahabat pena cukup merepotkan karena butuh tenaga ekstra untuk menulis surat, biaya perangko dan tentu saja kesabaran untuk mendapatkan balasan surat ini. Itu jika sahabatnya penanya cuma satu orang. Bagaimana kalau lebih dari seorang? Tentu lebih repot lagi.
Kini, dengan hadirnya, situs-situs pertemanan semacam Facebook dan Twitter berbagai kerepotan yang dialami melalui surat-menyurat konvensional ala hobi sahabat pena ini dapat di atasi. Dengan jaringan sosial tersebut kita tinggal mengetik nama teman kita dan sesudah di konfirm dengan mudahnya kita mendapatkan teman yang banyak.
Tapi, hadirnya situs-situs pertemanan ini memang seperti pisau bermata dua. Dia dapat menjadi sarana yang sangat bermanfaat, jika kita dapat menggunakan untuk tujuan-tujuan yang baik. Misalnya, saat kita ingin berjumpa dengan teman lama yang sudah lama tidak berjumpa.
Di sisi lain, dia justru akan berdampak kurang baik jika kita menggunakannya secara kurang bijaksana. Misalnya, bermain facebook atau twitter sampai menyita waktu berjam-jam dan lebih parah lagi saat kita lupa dengan belajar. Mungkin juga sebagai ajang untuk bergosip ria. Pantas, sampai-sampai sebagian ulama bahwa mengeluarkan fatwa haram untuk bermain Facebook.
Pada akhirnya, manfaat atau mudharat situs-situs pertemanan ini kembali kita juga. Kalau tujuannya untuk memperbanyak silahturahmi sebagaimana yang diajarkan agama itu tentu bagus-bagus saja. Tapi, jika dia digunakan untuk tujuan-tujuan ngegosip dan sebagainya, mungkin lebih baik kita mempertimbangkannya kembali untuk menggunakannya. Nah, kita-kita juga yang memutuskannya, bukan?

Bandung, Oktober 2009

Kebanggaan Seorang Anak Negeri

Oleh: Diyanti Sholifiany

Dengan bangga
Ku pakai busana batik kesayanganku
Pada sebuah acara pesta keluarga
Tapi...
Seseorang membisikkanku
Jangan bangga dengan batikmu itu
Karena ia bukan lagi milik negerimu

Dengan bangga
Kumainkan musik angklung
Di hadapan para tamu mancanagara
Tapi..
Seseorang membisikkanku
Masihkah bangga dengan musik tradisionalmu itu?
Padahal ia bukan lagi milik negerimu

Dengan bangga
Kunikmati sepotong tempe goreng kesukaanku
Saat makan siang di kantin sekolah
Tapi ...
Seseorang membisikkanku
Jangan bangga dengan tempemu itu
Karena ia sudah dipatenkan bangsa lain

Dengan bangga
Ku lantunkan sebuah lagu daerah Nusantara
Saat ku menjadi duta seni di luar negeri
Tapi ..
Seseorang membisikkanku
Kau tak pantas berbangga dengan lagu itu
Karena bangsa lain pun merasa memilikinya

Dengan bangga
Kuracik sebuah ramuan obat tradisional
Sesuai resep dari nenekku
Tapi ..
Sesorang membisikkanku
Jangan sembarang membuat obat ini
Karena resepnya sudah dipatenkan tuan-tuan di negeri sana



Aku tersentak
Kenapa semua yang kubanggakan itu
Tidak lagi menjadi milik negeriku

Aku tersadar
Betapa warisan negeri yang sering terlupakan
Begitu berharga di mata orang lain
Sampai mereka ingin memilikinya
Meski dengan segala cara

Mungkin ini hanya sebuah mimpi
Tapi ku takkan rela jika ini harus terjadi
Kini, ku berjanji
Ku kan menjaga semua warisan ini
Agar aku tetap bangga
Terlahir sebagai anak negeri


Bandung, 5 Oktober 2009

Harapan untuk Sebuah Negeri

Oleh: Diyanti Sholifiany

Negeriku di masa depan
Adalah ...
Negeri dimana para petinggi negara
Bekerja keras siang malam untuk mengurus rakyatnya
Karena takut tak mampu mengemban amanat di pundaknya
Bukan karena sibuk memperkaya diri

Negeriku di masa depan
Adalah ...
Negeri dimana mereka yang kurang beruntung
Memilih bekerja untuk sebuah harga diri
Ketimbang menengadah tangannya ke sana ke mari

Negeriku di masa depan
Adalah ...
Negeri dimana sungai, hutan dan pantai-pantainya
Selalu terjaga dari tangan-tangan jahil yang ingin merusaknya
Hingga tak menyebabkan mereka murka

Negeriku di masa depan
Adalah ...
Negeri dimana para petani tersenyum gembira
Karena hasil jerih payahnya
Membuat keluarganya hidup sejahtera

Negeriku di masa depan
Adalah ...
Negeri dimana para pedagang
Tersenyum ramah melayani pembeli
Tanpa terbersit niat mencurangi

Negeriku di masa depan
Adalah ...
Negeri dimana para guru
Membimbing murid-muridnya dengan tulus
Tanpa bayang-bayang
Nasib suram hidupnya sekeluarga



Negeriku di masa depan
Adalah ...
Negeri dimana para murid sekolah
Bergelut dengan soal-soal ujian
Dengan berbekal percaya diri
Ketimbang membawa contekan di kanan kiri

O, Tuhan
Sungguh indah negeri ini
Andai setiap insan penduduk negeri
Bisa berbuat yang terbaik
Apa pun peran yang diembannya

Mungkin ...
Harapan ini hanya sebuah mimpi
Tapi ...
Bukankah kemerdekaan negeriku ini
Awalnya juga hanya sebuah mimpi
Karena itu ...
Bolehkah jika ku berharap
Mimpi ini kelak menjadi suatu kenyataan



Bandung, 5 Oktober 2009

BIKIN TAYANGAN TV YANG MENGHIBUR SEKALIGUS MENDIDIK, ”BISA ENGGAK, YA?”

Oleh:
Diyanti Sholifiany

Sobat-sobat sekalian!
Ketika kita merasa bete sehabis ngebut belajar, kita tentu perlu rileks sejenak untuk mengendurkan urat-urat yang tegang. Apa yang bisa kita lakukan? Tentu banyak cara. Nonton acara TV kesayangan mungkin salah-satunya. Dengan semakin banyaknya stasiun TV, beragam tayangan pun siap menghibur kita. Kita tinggal pilih saja, mau sinetron, musik, infotainment atau realty show.
Menikmati tayangan TV sebagai sarana hiburan tentu boleh-boleh saja. Masalahnya, apakah kita cukup memperlakukan tayangan-tayangan tersebut sebagai hiburan semata-mata dengan mengabaikan aspek edukatifnya? Pertanyaan ini penting mengingat kehadiran si “kotak kaca ajaib” ini di tengah-tengah masyarakat sudah sangat meluas. Karena itu, kehadiran berbagai tayangan ini sedikit banyaknya telah memberi andil bagi baik-buruknya perilaku hidup masyarakat.
Agar dapat memberi dampak positif, tayangan TV idealnya dikemas sebagai sarana hiburan dengan tidak mengabaikan aspek edukatifnya. Penekanan tayangan TV sebagai sarana hiburan tetap penting mengingat motif sebagai besar orang nongkrong di depan TV memang untuk mencari hiburan guna melupakan rutinitas kehidupan barang sejenak. Namun, alangkah lebih baik lagi jika tayangan-tayangan itu pun bisa memberikan pencerahan jiwa kepada khalayak pemirsanya. Artinya, selain menghibur, tayangan-tayangan tersebut bisa membuat khalayak pemirsanya bersikap lebih cerdas, lebih arif dan sebagainya.
Masalahnya, sebagian besar tayangan yang ada saat ini justru memberikan efek sebaliknya. Tayangan-tayangan tersebut bukannya memberikan pencerahan jiwa, tetapi cenderung membuat khalayak pemirsanya menjauh dari nilai-nilai moral yang seharusnya dijunjung tinggi. Agar lebih jelas, mari kita tengok dua jenis tayangan TV yang saat ini paling menyedot perhatian khalayak, yaitu: infotainment dan sinetron.
Tayangan infotainment saat ini banyak mengungkap kehidupan pribadi para selebritis. Umumnya berkisar pada gosipan tentang kisah asmara, perkawinan, perceraian atau rebutan anak di kalangan selebritis tadi. Sebagai hiburan, tayangan seperti ini jelas sangat digemari pemirsa. Hal ini terbukti dari tingginya rating jenis tayangan ini. Masalahnya, perilaku para selebritis yang begitu mudah mengobral kawin-cerai seperti itu jelas tidak memberikan contoh baik kepada khalayak pemirsa mengenai pentingnya menjaga keutuhan sebuah keluarga.
Begitu pula dengan tayangan sinetron. Jenis tayangan ini memang banyak dinanti-nantikan setiap anggota keluarga. Bahkan tidak sedikit orang yang begitu kecanduan dengan sinetron tertentu sehingga tidak ingin melewatkan barang satu episode pun. Jelas, dari sisi hiburan, tayangan sinetron cukup berhasil menghibur khalayak pemirsa. Masalahnya, isi cerita sinetronnya sendiri umumnya masih jauh dari kesan mendidik. Bayangkan! Isi sinetron kita pada umumnya tidak jauh dari gambaran kehidupan sebuah keluarga kaya-raya yang dirongrong oleh orang-orang yang ingin menguasai hartanya. Segala cara pun dilakukan untuk menguasai harta keluarga kaya itu.
Tak ayal, jenis sinetron ini sering dibumbui dengan adegan kekerasan, pelecehan seksual, dan berbagai perilaku negatif lainnya. Meski akhirnya kebenaran yang menang, tapi itu hanya terjadi di ujung cerita. Selebihnya, khalayak pemirsa “dipaksa” untuk lebih banyak menyaksikan perilaku jahat tokoh antagonis dari cerita sinetron ini. Nah, apa jadinya jika khalayak pemirsa setiap harinya lebih banyak dijejali contoh-contoh perilaku jahat tokoh-tokoh antagonis tadi?
Pertanyaannya, di tengah-tengah maraknya berbagai tayangan TV yang kurang mendidik tadi, “Bisakah kita membuat tayangan yang menghibur sekaligus mendidik?” Jawabnya, sebenarnya bisa. Sineas kawakan seperti Dedi Mizwar, misalnya, telah membuktikannya. Dia mampu membuat sinetron-sinetron religi yang menurutku sangat mendidik. Tanpa perlu menayangkan siksa kubur secara vulgar pun, sinetron-sinetron Dedi Mizwar mampu menyampaikan pesan-pesan moralnya secara tepat kepada khalayak pemirsa.
Jadi, kalau mau sebenarnya para insan TV bisa membuat tayangan yang lebih bermutu di banding selama ini. Di sisi lain, khalayak pemirsa TV sendiri sudah selayaknya bersikap lebih cerdas dan selektif sehingga tidak membiarkan dirinya menjadi konsumen setia dari tayangan-tayangan yang tidak bermutu.
oo00oo
Bandung, 10 Desember 2009