Senin, 20 Agustus 2012

Stadium Empat Oleh: Diyanti Sholifiany


 “Hei ngeliat pensil aku gak?” Ini sekian kalinya aku lupa menaruh pensil itu. Padahal pensil itu adalah pensil pemberian Papa ketika pergi ke Bali.
            Serempak anak-anak sekelas menjawab:”Enggak”
            “Aduh dimana pensil aku ya….” Gumamku dalam hati.
            Kata orang tanggal ini cukup menarik. Soalnya hari ini adalah awal di bulan Maret 2011. Tapi menurutku seratus persen. Tidakkk. Tanggal 01 bulan 03 tahun 2011 ini begitu menyebalkan. Bagaimana tidak?
            Di pagi harinya aku sudah di omelin sama Mama. Padahal cuma gara-gara gak cepat-cepat mandi. Itulah Mama, dia emang suka membesarkan masalah.  Yang seharusnya satu kata, ini dibuatnya jadi seribu kata. Sebuah kalimat yang betul-betul menjengkelkan.
            “Hmmh.. tapi ini ulahku juga sih. Hal ini betul-betul tak disengaja. Suerrr !! Pagi itu saat mataku sudah terbuka. Pikiran pertama yang teringat yaitu buku paket fisika Bu Meri. Tapii…”
            Tapi itulah yang terjadi. Aku memang seperti nenek-nenek. Yang seringkali pikun. Yang seringkali menuduh orang lain, bila barang tersebut tidak ditemukan.
            Lalu, ketika di sekolah. Aku benar-benar tak konsen belajar. Aku melamun memikirkan dimana buku fisika bu Meri.
            Guru Pkn yang super killer. Spontan bertanya:
            “Aku, apa arti kata hubungan?”
             Spontan Aku menjawab:”Ikatan cinta,bu…”
            “Apaaa????”
            Tanpa aba-aba seisi kelas spontan menertawakanku. Tidak terkecuali Haikal, sahabat ku sendiri. Dia terlihat menertawakanku dengan puas. Meski ditutup dengan tangannya. Ekspresinya itu loh begitu keliatan. Ia benar-benar puas!
            Pita suaraku seakan tak bergetar lagi. Kali ini aku benar-benar merasa tak bisa bersuara lagi. Hari yang begitu vacum  ngomong.
            Mungkin, jika aku menjawab arti kata itu dengan arti yang sebenarnya yaitu interaksi. Aku tidak akan ditertawakan seperti ini. Huhh !
            “Sya, kamu kenapa?” Tanya Haikal mendadak.
             Sorot matanya begitu menyejukkan. Ia memandangku begitu syahdu.
            “Hei, kenapa?” ulang Haikal.
            “Engga… Ga kenapa-kenapa ko.”     
            Haikal mencoba mendekatiku. Diambilnya bangku, kemudian ia duduk di depanku. Tapi aku hanya bisa menunduk. Rasa malunya kini memuncak.
            “Kenapa Sya?”
            “Akuuuu…….gak papa!”
***
            …Walau badai menerpa. Cintaku tak kan ku lepas. Berikan kesempatan untuk membuktikan ku mampu jadi yang terbaik. Dan masih jadi yang terbaik... Lagu Nikita Willy terngiang-ngiang dalam telingaku.
            Tiba-tiba suara itu hilang. Aku begegas melihat apa penyebabnya. Ternyata dihapeku tertulis 1 pesan diterima.  
            “Sya kamu kenapa sih?” begitu isi sms itu.
            Jari-Jemariku  begitu refleks membalas sms itu:”Aku ga kenapa-napa, kal. Aku Cuma bingung nyari buku fisika bu Meri. Yang waktu itu aku pinjem buat olimpiade. Hehhe..”
            ”Hmmmhh…Cuma gara-gara itu?”
            “Iya..heehe”
            “Sya, kamu tau ga?”
            “Tau apa?”
            ”Buku fisika itu… ada di aku tau…waktu itu kan aku pinjem buku itu ke kamu, sya. Kamu lupa?”
            “Astagfirullah..hhe..iya aku lupa”
            “Euhh.. nenek-nenek dasar..hehe..peace !”
            Begitu lega mendengar berita ini. Rasanya seakan diberi hujan ketika gersang tiba.
***
            Pagi itu…
            “Sya, ini uang bulananmu.” Ujar Mama ketika di meja makan.
            Mama emang selalu memberi uang saku di tanggal satu. Mumpung hari ini hari Minggu. Aku ikut Mama pergi ke mall. Sekalian beli sesuatu untuk Haikal. Setidaknya ada sesuatu yang bisa bermanfaat untuk Haikal.
            Sesampainya di Mall, kami berjalan menyusuri toko-toko di Mall. Sepatu basket berwana putih dihiasi corak biru. Kurasa cocok untuk Haikal. Dengan harapan bisa bermanfaat untuk lomba basket tingkat provinsinya.
            Terasa begitu lama shopping bersama Mama itu. Orang Mama kalau belanja, nawarnya selangit. Padahal kita tau bahwa di mall itu tidak bisa nawar, kan? Dan hasilnya nihil. Tak ada yang dibeli oleh Mama.
             “Mama sepatu yang tadi aku beli mana? Kok ga ada?”
            “Ah, dasar kau. Lah tadi kan dibawa sama kamu, tho?”
            “Ihhhh…, Aku lupa, ma. Balik lagi ke mall ya.”
            Alhasil mobil yang Aku kendarain mutar balik. Dan mobil itu meluncur dengan kecepatan 80 km/jam.
***
            Aku berharap semoga kesialan itu tak berlaku lagi pada hari ini.
            Tapiiiii…
            Kejadian pekan lalu terulang kembali. Namun, dengan sesuatu yang berbeda yaitu flashdisk. Padahal disana itu isinya data-data untuk tugas presentasinya. Jadilah, gatot semua rencana presentasinya. Semua yang telah aku persiapkan hilang begitu saja. Apalagi ketika teman-teman sekelompoknya banyak yang tak hadir. Alhasil hanya berempat, aku tampil presentasi. Akhirnya, presentasi itu berjalan tanpa media pembelajaran power point. Cuma dengan dipresentasi biasa.
            Dan akhirnya guru Biologi itu berkomentar. Mengapa ini presentasinya cuma sedikitan? Mana yang lain? Seharusnya kalian mempersiapkannya matang-matang presentasi ini! Lalu jawaban kalian tentang sistem pencernaan yang ditanyakan peserta diskusi. Begitu melenceng dari yang sebenarnya? Dan bla…bla….bla.
            Perasaanku sudah menggebu-gebu untuk mencari flashdisk itu. Ketika sudah sampai di rumah. Aku obrak-abrik semua barang yang ada di rumah. Dari mulai kamar, ruang keluarga, sampai dapur. Habisku obrak-abrik. Tapi hasilnya tetap sama. Flashdisk itu gak ada!
            Ketika itu aku menuduh Papa. Bahwa Papa lah yang menyimpan flashdiskku itu. Mungkin dengan harapan aku tidak akan jorok menyimpan barang lagi. Berulangkali aku mengulang pertanyaan itu. Dan berungkali pula Papa menjawab: enak saja kamu nuduh orang sembarangan.
            “Tasyaaaaaaaaa…….”
            “Ini apa?” Tanya Papa sambil menunjukkan flashdisk yang ada di tangannya.
            “Hehe.. Papa nemu ini dimana?”
            Kali ini Papa tak berkutik. Dia hanya mengambil koran dia atas meja ruang tamu.
            “Ihhhhh…” jawab Papa sambil berjalan meninggalkan ruang tamu. Tak lupa ia memberikan kenang-kenang menyakitkan yaitu satu cubitan bersarang dipipiku.
***
            “Haikal..haikal” tanyaku sambil cengengesan.
            “Hai..ada apa? Keliatannya seneng banget?”
            “Hemmmhh…”
            Lanjut Aku. “Eeeeeeee….”
            “Haikal gimana sekarang jadi latihan gak?” Tanya Tania tiba-tiba.
            “Oh…latihan ya. Jadi kok.”
            Haikal terlihat sangat ramah menjawab pertanyaan Tania.
            Tak lama kemudian, bel berbunyi. Dentang suara bel itu terdengar sampai seluruh penjuru kelas. Apalagi kelasku begitu dekat dengan tempat dimana bel itu berada.
            Bu Meri langsung nyelonong masuk kelas. Salam gitu kek. Katanya guru itu adalah contoh untuk anak muridnya. Ini mana buktinya? Sepuluh detik kemudian Ferdy memimpin doa. Dan tau gak? Bu Meri menjawab salam itu dengan wajah tegas.
            Dan…
            “Ayo anak-anak sekarang buku fisika dan kerjain tugas fisika halaman 18. Ibu tinggal dulu ya.”
            “Aduuuhhh mana buku fisika aku? Oh My God…dimana buku itu?” teriakku sembari menggaruk-garuk kepala.
            “Ini buku kamu ada di aku tau.” Jawab Haikal.
            “Masa? Kenapa aku lupa?”
            “Ihhh...dasar nenek-nenek. Kan waktu itu aku udah ngomong lewat sms. Gimana sih? Plis deh!” 
***
            Siang itu sepulang sekolah. Haikal mengajakku pergi ke mall. Tumben-tumbenan dia ngajak aku. Kan biasanya itu aku yang ngajak dia duluan. Mungkin dia lagi kesambet sama peri. Jadi, dia baik deh. Hoho..
            Kira-kira butuh waktu 30 menit untuk sampai di mall itu. Kami berdua pergi menggunakan jazz hitam milik Haikal.
            Di perjalanan selalu saja ada ledekan. Haikal memang pandai menghibur hati orang. Terkadang dengan melihat mukanya yang kocak saja orang langsung ingin ketawa. Lalu, ketika sedang sedih. Ia bisa merubah 100 % kesedihan menjadi tertawa cengakakan. Dia benar-benar seorang yang humoris.
            “Sya, kita ke restoran itu yuk?” ajaknya.
            Aku hanya menganggukkan kepala. Tanda setuju.
            “Woi, kenapa lagi?”
            “Gapapa tapi kayak ada yang lupa. Tapi apa ya?”
            “Ah, itu hanya perasaan kamu saja. Ayo kita duduk disana..”
            “Kal, hp aku gak ada. Seinget aku tadi tuh hp aku taro di kolong meja.”
            “Ya sudah ayo kita balik lagi ke sekolah. Tapi kita selesain makan dulu.” Jawabnya tersedak. Ketika ayam goreng masih ada di mulutnya.
            Pintu gerbang hampir saja ditutup satpam. Mungkin jaraknya tinggal semeter lagi. Dengan tampang serius. Aku langsung turun. Sementara Haikal menungguku di mobil.
            Lima belas menit kemudian. Aku kembali dengan  raut muka begitu bahagia.
            “Hape nya ada gak?” kata Haikal sembari membuka pintu.
            “Ada. Hehhe..”
            “Ayo kita pulang !”
            Mobil jazz hitam segera meluncur meninggalkan sekolah yang sudah sepi. Menyusuri Jalan Merdeka.
            Aku memulai pembicaraan: “Kal aku pengen cerita deh.”
            “Cerita apa? Serius banget?”
            “Coba tebak aki-aki naon nu jang-jangan?”.
            “Hmmhh..aki-aki manuk aya jang-jangan..” jawab Haikal sambil tertawa. Lesung pipi Haikal begitu mempesona.
            “Salah…Sok aya geuning aki-aki: jang-jang kadieu geura. Hehe.”
            “Euh… kirain apa.” Geram Haikal. “Sekarang giliran aku yang ngomong.” Lanjutnya.
            “Ngomong apa?”
            “I Love You. Aku ingin hubungan kita lebih dari sekedar sahabat. Aku ingin selalu menjagamu. Aku tunggu jawabanmu besok.”
            “Haha..” Jawab Aku dengan bahagianya.
            Aku memang terlampau cuek. Hampir semua perkataan Haikal. Aku anggap hanya guyonan. Atau sekedar rasa sayang seseorang untuk sahabatnya.
            “Kal, ini sepatu basket buat kamu.”
            “Oh, ini yang dari tadi kamu mau omongin.” Jawab Haikal dengan muka kesal.      Aku hanya mengangguk dan tersipu malu.
***
            “Apa? Haikal gak ada?” teriakku. Saat Sely sedang bertanya dimana Haikal.
            Aku terkejut. Padahal aku kan baru menginjakkan kaki di sekolah. Dasar si Sely nanya sama orang yang baru dateng.
            “Suerrr…aku gak tau deh dimana dia.” Ucapku.
            Mukaku merah padam bak kebakaran jenggot, langkah kakiku dipercepat menuju kelas. Aku sudah tak tahan untuk mencari Haikal. Tapi Haikal juga tak ada. Kemana perginya dia? Dia seolah ditelan pusaran Segitiga Bermuda.
            “Mungkin dia di kantin.” Aku celingak-celinguk di kantin.
            Haikal tetap saja tidak ada. Meskipun aku sudah menggeledah seluruh isi sekolah Tapi tetap saja nihil. Dia tidak ada.
            “Hei…ada yang liat Haikal gak?” ujarku ke beberapa orang yang sedang asyik ngobrol.
            “Enggak, tuh.” Jawab salah satu diantara mereka.
            Haikal yang selama ini menjadi sahabatku. Hilang. Meskipun baru hari ini. Tapi aku merasa begitu kehilangan.
            “Harus kemana lagi aku mencarinya?” gumamku.
            Ya… Aku harus langsung pergi ke rumah Haikal. Untung saja aku bertemu Bi Minah.
            “Bi, Haikal ada?”
             “Non, lupa yaa… Haikal kan lagi lomba basket.”
            Yeahhh…penyakit lupaku kambuh lagi. Aku baru teringat ketika Bi Minah berkata seperti itu. Mungkin jika aku gak ke rumah Haikal, aku pasti kalangkabut mencari dia.
            “Oia, kan Sely gak masuk sekolah kemarin. Pantas saja dia bertanya padaku.” Seruku sambil memegang kepala.
***
            Hari ini aku sangat bahagia. Karena sahabat yang paling aku sayangi sekarang sedang duduk disampingku di sebuah taman dekat rumah. Ya, setelah sehari kita tidak bertemu. Akhirnya aku sekarang bisa bercanda lagi sama dia.
            Dia bercerita soal pertandingan basketnya kemarin. Katanya skor yang didapat oleh timnya adalah 21. Karena skor yang tinggi itulah, membuat timnya lolos ke babak final, minggu depan.
                Tiba-tiba Haikal bertanya tentang jawabanku tentang pertanyaannya waktu itu. Sungguh, aku benar-benar bingung dibuatnya. Aku harus menjawab apa. Tidak terlintas dalam otakku akan pertanyaannya ini.
            “Kal, aku lapar nih. Kita beli baso di Pakde yuk?” Ajakku untuk mengalihkan pembicaraan.                     
            Haikal tidak berkata apa-apa, ia langsung nurut sama ajakkanku itu. Kami berdua berjalan sekitar seratus meter untuk sampai ke warung Pakde.
            Setelah selesai makan baso, aku mengajak Haikal untuk ke rumahku. Aku ingin sekali ia mengajariku bermain gitar. Selain jago bermain basket, dia juga mahir bernyanyi dan bermain alat musik. Pernah ketika SMP dulu ia sempat menjuarai lomba menyanyi. Tidak tanggung-tanggung dia menyabet juara 1.
            “Kal, makasih ya udah mau datang kesini.”
            “Iya.” Jawabnya lembut.
            Dia begitu sabar mengajariku bermain gitar. Tanpa ada sedikitpun rasa kesal hinggap dimukanya. Hampir dua jam Haikal setia mengajariku bermain gitar.
            “Oia, habis ini ajarin pr Bahasa Indonesia lah.” Pintaku dengan manja.
            “Yaelah…masa seorsng maestro fisika gak bisa ngerjain pr Bahasa Indonesia. Payahh..” Dari raut wajahnya dia terlihat sedang meledekku dengan puas.
            Bagiku Haikal adalah seorang yang paling baik. Tentunya setelah Mama dan Papaku lah. Kami memang sudah berteman sejak kecil. Itulah yang membuat kami lengket seperti amplop dan perangko. Tanpa ada Haikal, mungkin hidupku terasa hambar. Ibarat sayur tanpa garam.
            Alahhh… lebay sekali diriku ini.
***
            Sejak berita kematian ayah Haikal tiba di Indonesia. Ibunya mengajaknya untuk tinggal di Belanda. Sudah hampir sepuluh tahun ayah Haikal menetap disana. Katanya, ayahnya itu beralasan bahwa neneknya menyuruh ayahnya mengurusi perusahaan keluarganya.
            Tapi ibunya tetap bersikukuh untuk tetap tinggal di Indonesia dengan anak semata wayangnya itu. Tentu, dengan alasan yang sama seperti ayahnya.
            Ajaibnya, kedua orang tua Haikal tetap saling mencintai. Mereka masih tetap merajut kisah cinta. Walaupun hanya dengan email.
            Setelah sekian tahun tak berjumpa dengan suaminya. Ibunya memutuskan untuk pergi ke Belanda menemui ayahnya. Meskipun hanya dapat melihat sesosok pria yang sudah terbujur kaku.
            Ini semua menjadi bumerang buatku. Setelah sekian lama aku merajut persahabatan dengannya. Kini, dia akan pergi ke tempat yang jauh. Bahkan mungkin akan tinggal disana untuk selamanya.
            Aku hanya mampu menitip sepucuk surat untuk Haikal. Tentunya dengan bantuan Bi minah. Orang yang begitu ramah padaku: 
            To Haikal:
            Haikal, maafkan aku jika selama ini aku merepotkanmu. Selalu saja ada lupa yang membuatmu ikut turun tangan membantuku.
            Haikal, terima kasih sudah mau menjadi sahabatmu. Sudah mau melukiskan kisah-kisah yang tak akan mungkin terlupakan selama ini.
            Haikal sahabat ku..    
            Aku masih mengingat kata-kata mu dulu. Ketika di mobil jazz hitammu.
            I Love You, Tasya…
            Bukannya aku acuh dengan perkataanmu itu. Tapi aku akan menjawab pertanyaanmu itu pada tanggal 11Maret 2011. Tepat dimana hari ulang tahun persahabatan kita yang ke-10.
            Yeahhh… I Love You too, Haikal.
            Ya. Meskipun penyakit pikunku sudah stadium empat. Hehe..
Sahabatmu yang selalu menyayangimu.
Tasya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar