Senin, 20 Agustus 2012

Lentera Jiwaku (Oleh:Diyanti Sholifiany)


Hatiku begitu tercabik-cabik melihat kenyataan ini. Kenyataan yang begitu pahit rasanya. Aku kehilangan dua bola mataku. Ini semua tak lepas dari ulah si Reza itu. Gara-gara dia aku tak bisa lagi melihat indahnya dunia. Tak bisa lagi melihat lagi bunga-bunga bermekaran di taman. Tak bisa lagi memandang langit nan biru. Dan tak bisa lagi melihat ayah dan ibukku. Semua keindahan di dunia ini telah sirna.
          Penderitaan ini berawal dari aksi nekat ku bersama si Reza itu. Reza yang membawaku pergi. Pergi ke tempat yang begitu jauh. Katanya disana aku bisa meraih semua mimpi-mimpiku. Aku pun nekat  kabur dari rumah. Meninggalkan emak dan bapakku yang padahal kala itu tengah terhimpit hutang piutang.
          Aku pergi tidak bilang-bilang. Aku hanya menitipkan secarik surat di meja makan. Isi surat itu mengatakan bahwa aku pergi ke sebuah tempat yang jauh. Ke tempat dimana aku bisa meraih semua mimpi-mimpiku.
          Manusia boleh berkeinginan, tapi jika Tuhan telah berkehendak lain. Maka apa boleh buat. Mobil yang membawaku pergi tertabrak bus. Supir bus itu ngantuk. Jadilah bus itu oleng dan menghantam mobil Reza. Aku dan Reza pingsan seketika.
          Untunglah ada orang mau menolong kami berdua. Kami dilarikan ke rumah sakit. Akulah yang menderita luka cukup parah. Kedua kakiku retak dan mukaku memar. Terlebih serpihan kaca itu mengenai kedua bola mataku. Sedangkan, Reza hanya menderita luka ringan.
          Reza sadar terlebih dahulu daripada aku. Ia segera menyelesaikan biaya pengobatan kami. Setelah itu, ia pergi meninggalkan rumah sakit itu. Aku pun tersadar. Setelah dua jam pingsan. Dokterlah yang memberitahu aku bahwa Reza sudah pergi.
          Aku merasa heran. Entah kenapa setelah perban dimataku dibuka. Aku tidak bisa melihat dunia ini. Muka dokter yang berada disampingku juga tak terlihat. Dan dokter pun berkata: “Serpihan kaca itu mengenai kedua matamu. Sehingga kornea matamu rusak. Inilah yang menyebabkan kamu tak bisa melihat lagi”
          Perkataan dokter itu membuat hidupku seakan tak berarti lagi. Hidupku kini menjadi gelap. Sekarang aku hidup sebatang kara dengan kegelapan. Si Reza memang lelaki pengecut. Dia meninggalkan aku sendirian. Dengan kegelapan ini. Aku sebenarnya butuh orang untuk membantuku menitih jalan. Jalan untuk meraih semua mimpi-mimpiku.
          Semua mimpiku telah sirna. Dihantam kenyataan pilu ini. Hari-hari setelah keluar dari rumah sakit. Kujalani tanpa arah dan tujuan. Aku berjalan dengan menggunakan tongkat pemberian rumah sakit. Dialah teman setia yang selalu menemaniku dimanapun aku berada. Dia yang menuntunku menyusuri jalan yang begitu gelap.
          Begitulah realita hidupku. Hingga sampai pada akhirnya aku tertangkap polisi. Aku dikira gelandangan oleh polisi-polisi itu.
          Tapi, Tuhan begitu baik padaku. Hingga aku masih bisa diselamatkan oleh-Nya. Ketika itu aku dibantu seorang pemuda. Dia yang membawaku pergi menjauh dari polisi-polisi itu. Nafasnya begitu terengah-engah. Ia menggandeng tanganku. Dengan langkah secepat kuda pacu.
          Alhasil, sampailah aku di sebuah sudut jalan.  Aku memberhentikan langkah kakiku. Di sebuah jalan yang menurut firasat ku itu sudah aman.”Hei, mengapa kau rela membawaku, padahal engkau tidak mengenalku?” tanyaku.
“Ini adalah kewajibanku.” Jawabnya sambil  meraih tanganku untuk terus lari.
          Ternyata ia membawaku pergi ke kontrakkannya. Disebuah gang kecil disudut kota. Ketika sampai, ia lekas memanggil kelima temannya. Ia berusaha memperkenalkan temannya itu padaku. Semuanya menyambutku dengan ramah.
***
          “O, ya..kamu disini saja. Aku akan pergi dulu sebentar.” Kata pemuda itu.
          “Oh, maafkan aku jika merepotkanmu?”
          “Tidak, ini adalah kewajibanku.” Jawabnya untuk kedua kalinya ia mengatakan seperti itu.
          “Hoho..kau mengatakan ini sudah dua kali lho.”
          “Hehe..sudah ya aku berangkat dulu.” Ujarnya.
          Suara tapak kakinya kian menjauh. Mungkin, ia sudah berada jauh dari rumah ini. Perlahan tapi pasti. Aku mulai akrab dengan mereka semua. Mereka semua begitu baik.
          “Tapi aku harus bisa membalas kebaikan mereka semua.” Gumamku dalam hati.
          Kubangkitkan seluruh jiwa-ragaku. Aku bulatkan niat untuk membuat nasi goreng itu. Mumpung tidak ada orang di rumah selain aku. Kutapakki kakiku di lantai. Kucari tongkat dengan tangan kiriku. Tangan satu lagi kugunakan untuk meraba tembok menuju dapur. Jalanku menuju dapur tak semulus kain sutra. Beberapa kali aku terjatuh. Dan untuk sekian kalinya aku menabrak benda-benda di rumah itu.
          Belum sempat aku menyelesaikan pekerjaan itu, ternyata ada sesorang mengetuk pintu.
          “Hei, bukakan pintu”
          “Bentar” teriakku dari dapur.
          Ternyata suara orang yang datang itu persis dengan pemuda yang menolongku tempo hari.
          “Hei, lama sekali membukakan pintunya.” Tegur pemuda itu.
          “Maaf…aku sedang di dapur.” Jawabku tersipu malu.
          “Hei, ini kubawa tasbih untuk menemani hari-harimu. Semoga kau suka..”
          “Makasih ya, aku sangat suka.”
          Aku malu dengan semua ini. Mengapa aku baru ingat Tuhan saat aku buta? Mengapa tidak saat aku masih bisa melihat?, sesalku dalam hati.
***
          Pemuda itu sangat baik. Temannya juga sangat ramah padaku. Mereka dengan senang hati menerimaku di kontrakannya.
          Tidak seperti si Reza, pikirku. Pokoknya aku tidak akan memaafkan Reza. Kemana dia coba? Dia tidak menolongku saat aku buta. Aku benci sama yang namanya Reza.
          “Sssstt…diam jangan berisik! Jangan sampai terdengar sama Rifa. Kalian jangan sampai memberitahu bahwa yang menyuruh kalian membantu dia adalah aku.” Suara itu jelas terdengar. Ketika aku ingin ke kamar mandi. Aku berhenti sejenak mendengar pembicaraan itu.
          Meskipun aku tidak bisa melihat. Tapi aku bisa mendengar suara itu. Suara itu…
          Suara Reza, ya benar itu jelas suara Reza.
          Kubuka pintu itu. Orang-orang yang sedang berbicara itu kemudian diam. Seseorang menghampiriku.
          “Rifa…” terdengar suara menyapaku.
           Firasatku benar. Dia adalah Reza. Dia memelukku erat-erat.
          “Ini benar Reza?” Tanyaku penasaran. Aku mencoba  meraba mukanya.
          “Iya…”      
***
          “Rifa banguunnn…sudah nyampe.” Suara Reza membangunkanku.
          Aku mengucek-ngucek mata. Dan aku sadar aku tertidur di mobil Reza.
          “Rezaaaa…maafin aku!” Teriakku sambil memeluk Reza.
          “Kenapa sih kau?”
          “Engga papa, pokoknya kamu adalah Lentera Jiwaku.”
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar