“Hei ngeliat pensil aku gak?”
Ini sekian kalinya aku lupa menaruh pensil itu. Padahal pensil itu adalah
pensil pemberian Papa ketika pergi ke Bali.
Serempak anak-anak sekelas
menjawab:”Enggak”
“Aduh dimana pensil aku ya….” Gumamku
dalam hati.
Kata orang tanggal ini cukup menarik.
Soalnya hari ini adalah awal di bulan Maret 2011. Tapi menurutku seratus
persen. Tidakkk. Tanggal 01 bulan 03 tahun 2011 ini begitu menyebalkan.
Bagaimana tidak?
Di pagi harinya aku sudah di omelin
sama Mama. Padahal cuma gara-gara gak cepat-cepat mandi. Itulah Mama, dia emang
suka membesarkan masalah. Yang
seharusnya satu kata, ini dibuatnya jadi seribu kata. Sebuah kalimat yang
betul-betul menjengkelkan.
“Hmmh.. tapi ini ulahku juga sih. Hal
ini betul-betul tak disengaja. Suerrr !! Pagi itu saat mataku sudah terbuka. Pikiran
pertama yang teringat yaitu buku paket fisika Bu Meri. Tapii…”
Tapi itulah yang terjadi. Aku memang
seperti nenek-nenek. Yang seringkali pikun. Yang seringkali menuduh orang lain,
bila barang tersebut tidak ditemukan.
Lalu, ketika di sekolah. Aku
benar-benar tak konsen belajar. Aku melamun memikirkan dimana buku fisika bu
Meri.
Guru Pkn yang super killer. Spontan bertanya:
“Aku, apa arti kata hubungan?”
Spontan Aku menjawab:”Ikatan cinta,bu…”
“Apaaa????”
Tanpa aba-aba seisi kelas spontan menertawakanku.
Tidak terkecuali Haikal, sahabat ku sendiri. Dia terlihat menertawakanku dengan
puas. Meski ditutup dengan tangannya. Ekspresinya itu loh begitu keliatan. Ia
benar-benar puas!
Pita suaraku seakan tak bergetar
lagi. Kali ini aku benar-benar merasa tak bisa bersuara lagi. Hari yang begitu
vacum ngomong.
Mungkin, jika aku menjawab arti kata
itu dengan arti yang sebenarnya yaitu interaksi. Aku tidak akan ditertawakan
seperti ini. Huhh !
“Sya, kamu kenapa?” Tanya Haikal
mendadak.
Sorot matanya begitu menyejukkan. Ia
memandangku begitu syahdu.
“Hei, kenapa?” ulang Haikal.
“Engga… Ga kenapa-kenapa ko.”
Haikal mencoba mendekatiku.
Diambilnya bangku, kemudian ia duduk di depanku. Tapi aku hanya bisa menunduk. Rasa
malunya kini memuncak.
“Kenapa Sya?”
“Akuuuu…….gak papa!”
***
…Walau
badai menerpa. Cintaku tak kan ku lepas. Berikan kesempatan untuk membuktikan
ku mampu jadi yang terbaik. Dan masih jadi yang terbaik... Lagu Nikita
Willy terngiang-ngiang dalam telingaku.
Tiba-tiba suara itu hilang. Aku
begegas melihat apa penyebabnya. Ternyata dihapeku tertulis 1 pesan diterima.
“Sya kamu kenapa sih?” begitu isi
sms itu.
Jari-Jemariku begitu refleks membalas sms itu:”Aku ga
kenapa-napa, kal. Aku Cuma bingung nyari buku fisika bu Meri. Yang waktu itu
aku pinjem buat olimpiade. Hehhe..”
”Hmmmhh…Cuma gara-gara itu?”
“Iya..heehe”
“Sya,
kamu tau ga?”
“Tau
apa?”
”Buku
fisika itu… ada di aku tau…waktu itu kan aku pinjem buku itu ke kamu, sya. Kamu
lupa?”
“Astagfirullah..hhe..iya
aku lupa”
“Euhh..
nenek-nenek dasar..hehe..peace !”
Begitu lega mendengar berita ini. Rasanya
seakan diberi hujan ketika gersang tiba.
***
Pagi itu…
“Sya,
ini uang bulananmu.” Ujar Mama ketika di meja makan.
Mama emang selalu memberi uang saku
di tanggal satu. Mumpung hari ini hari Minggu. Aku ikut Mama pergi ke mall. Sekalian
beli sesuatu untuk Haikal. Setidaknya ada sesuatu yang bisa bermanfaat untuk
Haikal.
Sesampainya di Mall, kami berjalan
menyusuri toko-toko di Mall. Sepatu basket berwana putih dihiasi corak biru. Kurasa
cocok untuk Haikal. Dengan harapan bisa bermanfaat untuk lomba basket tingkat provinsinya.
Terasa
begitu lama shopping bersama Mama itu. Orang Mama kalau belanja, nawarnya
selangit. Padahal kita tau bahwa di mall itu tidak bisa nawar, kan? Dan
hasilnya nihil. Tak ada yang dibeli oleh Mama.
“Mama sepatu yang tadi aku beli mana? Kok ga
ada?”
“Ah, dasar kau. Lah tadi kan dibawa sama
kamu, tho?”
“Ihhhh…, Aku lupa, ma. Balik lagi ke
mall ya.”
Alhasil mobil yang Aku kendarain mutar
balik. Dan mobil itu meluncur dengan kecepatan 80 km/jam.
***
Aku berharap semoga kesialan itu tak
berlaku lagi pada hari ini.
Tapiiiii…
Kejadian pekan lalu terulang
kembali. Namun, dengan sesuatu yang berbeda yaitu flashdisk. Padahal disana itu
isinya data-data untuk tugas presentasinya. Jadilah, gatot semua rencana presentasinya. Semua yang telah aku persiapkan
hilang begitu saja. Apalagi ketika teman-teman sekelompoknya banyak yang tak
hadir. Alhasil hanya berempat, aku tampil presentasi. Akhirnya, presentasi itu
berjalan tanpa media pembelajaran power point. Cuma dengan dipresentasi biasa.
Dan akhirnya guru Biologi itu
berkomentar. Mengapa ini presentasinya cuma sedikitan? Mana yang lain? Seharusnya
kalian mempersiapkannya matang-matang presentasi ini! Lalu jawaban kalian
tentang sistem pencernaan yang ditanyakan peserta diskusi. Begitu melenceng
dari yang sebenarnya? Dan bla…bla….bla.
Perasaanku sudah menggebu-gebu untuk
mencari flashdisk itu. Ketika sudah sampai di rumah. Aku obrak-abrik semua
barang yang ada di rumah. Dari mulai kamar, ruang keluarga, sampai dapur. Habisku
obrak-abrik. Tapi hasilnya tetap sama. Flashdisk itu gak ada!
Ketika itu aku menuduh Papa. Bahwa Papa
lah yang menyimpan flashdiskku itu. Mungkin dengan harapan aku tidak akan jorok
menyimpan barang lagi. Berulangkali aku mengulang pertanyaan itu. Dan
berungkali pula Papa menjawab: enak saja kamu nuduh orang sembarangan.
“Tasyaaaaaaaaa…….”
“Ini apa?” Tanya Papa sambil
menunjukkan flashdisk yang ada di tangannya.
“Hehe.. Papa nemu ini dimana?”
Kali ini Papa tak berkutik. Dia
hanya mengambil koran dia atas meja ruang tamu.
“Ihhhhh…” jawab Papa sambil berjalan
meninggalkan ruang tamu. Tak lupa ia memberikan kenang-kenang menyakitkan yaitu
satu cubitan bersarang dipipiku.
***
“Haikal..haikal” tanyaku sambil
cengengesan.
“Hai..ada apa? Keliatannya seneng
banget?”
“Hemmmhh…”
Lanjut Aku. “Eeeeeeee….”
“Haikal gimana sekarang jadi latihan
gak?” Tanya Tania tiba-tiba.
“Oh…latihan ya. Jadi kok.”
Haikal terlihat sangat ramah
menjawab pertanyaan Tania.
Tak lama kemudian, bel berbunyi.
Dentang suara bel itu terdengar sampai seluruh penjuru kelas. Apalagi kelasku
begitu dekat dengan tempat dimana bel itu berada.
Bu Meri langsung nyelonong masuk
kelas. Salam gitu kek. Katanya guru itu adalah contoh untuk anak muridnya. Ini
mana buktinya? Sepuluh detik kemudian Ferdy memimpin doa. Dan tau gak? Bu Meri
menjawab salam itu dengan wajah tegas.
Dan…
“Ayo anak-anak sekarang buku fisika
dan kerjain tugas fisika halaman 18. Ibu tinggal dulu ya.”
“Aduuuhhh mana buku fisika aku? Oh
My God…dimana buku itu?” teriakku sembari menggaruk-garuk kepala.
“Ini buku kamu ada di aku tau.”
Jawab Haikal.
“Masa? Kenapa aku lupa?”
“Ihhh...dasar nenek-nenek. Kan waktu
itu aku udah ngomong lewat sms. Gimana sih? Plis deh!”
***
Siang itu sepulang sekolah. Haikal
mengajakku pergi ke mall. Tumben-tumbenan dia ngajak aku. Kan biasanya itu aku
yang ngajak dia duluan. Mungkin dia lagi kesambet sama peri. Jadi, dia baik
deh. Hoho..
Kira-kira butuh waktu 30 menit untuk
sampai di mall itu. Kami berdua pergi menggunakan jazz hitam milik Haikal.
Di perjalanan selalu saja ada ledekan.
Haikal memang pandai menghibur hati orang. Terkadang dengan melihat mukanya
yang kocak saja orang langsung ingin ketawa. Lalu, ketika sedang sedih. Ia bisa
merubah 100 % kesedihan menjadi tertawa cengakakan. Dia benar-benar seorang
yang humoris.
“Sya, kita ke restoran itu yuk?”
ajaknya.
Aku hanya menganggukkan kepala. Tanda
setuju.
“Woi, kenapa lagi?”
“Gapapa tapi kayak ada yang lupa.
Tapi apa ya?”
“Ah, itu hanya perasaan kamu saja.
Ayo kita duduk disana..”
“Kal, hp aku gak ada. Seinget aku
tadi tuh hp aku taro di kolong meja.”
“Ya sudah ayo kita balik lagi ke
sekolah. Tapi kita selesain makan dulu.” Jawabnya tersedak. Ketika ayam goreng
masih ada di mulutnya.
Pintu gerbang hampir saja ditutup
satpam. Mungkin jaraknya tinggal semeter lagi. Dengan tampang serius. Aku langsung
turun. Sementara Haikal menungguku di mobil.
Lima belas menit kemudian. Aku
kembali dengan raut muka begitu bahagia.
“Hape nya ada gak?” kata Haikal
sembari membuka pintu.
“Ada. Hehhe..”
“Ayo kita pulang !”
Mobil jazz hitam segera meluncur
meninggalkan sekolah yang sudah sepi. Menyusuri Jalan Merdeka.
Aku memulai pembicaraan: “Kal aku
pengen cerita deh.”
“Cerita
apa? Serius banget?”
“Coba tebak aki-aki naon nu jang-jangan?”.
“Hmmhh..aki-aki manuk aya jang-jangan..” jawab Haikal sambil tertawa.
Lesung pipi Haikal begitu mempesona.
“Salah…Sok aya geuning aki-aki: jang-jang kadieu geura. Hehe.”
“Euh… kirain apa.” Geram Haikal. “Sekarang
giliran aku yang ngomong.” Lanjutnya.
“Ngomong apa?”
“I Love You. Aku ingin hubungan kita
lebih dari sekedar sahabat. Aku ingin selalu menjagamu. Aku tunggu jawabanmu
besok.”
“Haha..” Jawab Aku dengan
bahagianya.
Aku memang terlampau cuek. Hampir
semua perkataan Haikal. Aku anggap hanya guyonan. Atau sekedar rasa sayang seseorang
untuk sahabatnya.
“Kal, ini sepatu basket buat kamu.”
“Oh, ini yang dari tadi kamu mau
omongin.” Jawab Haikal dengan muka kesal. Aku
hanya mengangguk dan tersipu malu.
***
“Apa? Haikal gak ada?” teriakku. Saat
Sely sedang bertanya dimana Haikal.
Aku
terkejut. Padahal aku kan baru menginjakkan kaki di sekolah. Dasar si Sely
nanya sama orang yang baru dateng.
“Suerrr…aku gak tau deh dimana dia.”
Ucapku.
Mukaku merah padam bak kebakaran
jenggot, langkah kakiku dipercepat menuju kelas. Aku sudah tak tahan untuk mencari
Haikal. Tapi Haikal juga tak ada. Kemana perginya dia? Dia seolah ditelan
pusaran Segitiga Bermuda.
“Mungkin dia di kantin.” Aku
celingak-celinguk di kantin.
Haikal tetap saja tidak ada.
Meskipun aku sudah menggeledah seluruh isi sekolah Tapi tetap saja nihil. Dia
tidak ada.
“Hei…ada yang liat Haikal gak?” ujarku
ke beberapa orang yang sedang asyik ngobrol.
“Enggak, tuh.” Jawab salah satu
diantara mereka.
Haikal yang selama ini menjadi
sahabatku. Hilang. Meskipun baru hari ini. Tapi aku merasa begitu kehilangan.
“Harus kemana lagi aku mencarinya?” gumamku.
Ya… Aku harus langsung pergi ke
rumah Haikal. Untung saja aku bertemu Bi Minah.
“Bi, Haikal ada?”
“Non, lupa yaa… Haikal kan lagi lomba basket.”
Yeahhh…penyakit lupaku kambuh lagi.
Aku baru teringat ketika Bi Minah berkata seperti itu. Mungkin jika aku gak ke
rumah Haikal, aku pasti kalangkabut mencari dia.
“Oia, kan Sely gak masuk sekolah
kemarin. Pantas saja dia bertanya padaku.” Seruku sambil memegang kepala.
***
Hari ini aku sangat bahagia. Karena
sahabat yang paling aku sayangi sekarang sedang duduk disampingku di sebuah
taman dekat rumah. Ya, setelah sehari kita tidak bertemu. Akhirnya aku sekarang
bisa bercanda lagi sama dia.
Dia bercerita soal pertandingan
basketnya kemarin. Katanya skor yang didapat oleh timnya adalah 21. Karena skor
yang tinggi itulah, membuat timnya lolos ke babak final, minggu depan.
Tiba-tiba
Haikal bertanya tentang jawabanku tentang pertanyaannya waktu itu. Sungguh, aku
benar-benar bingung dibuatnya. Aku harus menjawab apa. Tidak terlintas dalam
otakku akan pertanyaannya ini.
“Kal, aku lapar nih. Kita beli baso
di Pakde yuk?” Ajakku untuk mengalihkan pembicaraan.
Haikal tidak berkata apa-apa, ia
langsung nurut sama ajakkanku itu. Kami berdua berjalan sekitar seratus meter
untuk sampai ke warung Pakde.
Setelah selesai makan baso, aku
mengajak Haikal untuk ke rumahku. Aku ingin sekali ia mengajariku bermain
gitar. Selain jago bermain basket, dia juga mahir bernyanyi dan bermain alat
musik. Pernah ketika SMP dulu ia sempat menjuarai lomba menyanyi. Tidak
tanggung-tanggung dia menyabet juara 1.
“Kal, makasih ya udah mau datang
kesini.”
“Iya.” Jawabnya lembut.
Dia begitu sabar mengajariku bermain
gitar. Tanpa ada sedikitpun rasa kesal hinggap dimukanya. Hampir dua jam Haikal
setia mengajariku bermain gitar.
“Oia, habis ini ajarin pr Bahasa
Indonesia lah.” Pintaku dengan manja.
“Yaelah…masa seorsng maestro fisika gak
bisa ngerjain pr Bahasa Indonesia. Payahh..” Dari raut wajahnya dia terlihat
sedang meledekku dengan puas.
Bagiku Haikal adalah seorang yang
paling baik. Tentunya setelah Mama dan Papaku lah. Kami memang sudah berteman
sejak kecil. Itulah yang membuat kami lengket seperti amplop dan perangko. Tanpa
ada Haikal, mungkin hidupku terasa hambar. Ibarat sayur tanpa garam.
Alahhh… lebay sekali diriku ini.
***
Sejak berita kematian ayah Haikal
tiba di Indonesia. Ibunya mengajaknya untuk tinggal di Belanda. Sudah hampir
sepuluh tahun ayah Haikal menetap disana. Katanya, ayahnya
itu beralasan bahwa neneknya menyuruh ayahnya mengurusi perusahaan keluarganya.
Tapi ibunya tetap bersikukuh untuk
tetap tinggal di Indonesia dengan anak semata wayangnya itu. Tentu, dengan
alasan yang sama seperti ayahnya.
Ajaibnya, kedua orang tua Haikal
tetap saling mencintai. Mereka masih tetap merajut kisah cinta. Walaupun hanya
dengan email.
Setelah sekian tahun tak berjumpa
dengan suaminya. Ibunya memutuskan untuk pergi ke Belanda menemui ayahnya. Meskipun
hanya dapat melihat sesosok pria yang sudah terbujur kaku.
Ini semua menjadi bumerang buatku. Setelah
sekian lama aku merajut persahabatan dengannya. Kini, dia akan pergi ke tempat
yang jauh. Bahkan mungkin akan tinggal disana untuk selamanya.
Aku hanya mampu menitip sepucuk surat
untuk Haikal. Tentunya dengan bantuan Bi minah. Orang yang begitu ramah padaku:
To
Haikal:
Haikal, maafkan aku jika selama ini aku merepotkanmu.
Selalu saja ada lupa yang membuatmu ikut turun tangan membantuku.
Haikal, terima kasih sudah mau menjadi sahabatmu. Sudah
mau melukiskan kisah-kisah yang tak akan mungkin terlupakan selama ini.
Haikal sahabat ku..
Aku masih mengingat kata-kata mu dulu. Ketika di mobil
jazz hitammu.
I Love You, Tasya…
Bukannya aku acuh dengan perkataanmu itu. Tapi aku akan
menjawab pertanyaanmu itu pada tanggal 11Maret 2011. Tepat dimana hari ulang
tahun persahabatan kita yang ke-10.
Yeahhh… I Love You too, Haikal.
Ya. Meskipun penyakit pikunku sudah stadium empat. Hehe..
Sahabatmu yang selalu
menyayangimu.
Tasya.